Hubungan Antar Negara ASEAN di Bidang HaKI

Yang menjadi perkembangan terbaru belakangan ialah adanya usulan dari Uni Eropa kepada ASEAN untuk memperketat proteksi terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual. Tetapi derasnya penolakan terhadap usulan perluasan Uni Eropa – ASEAN di bidang HaKI ini timbul karena karakteristik dari produksi negara-negara ASEAN yaitu di bidang pertanian. Dimana pada setiap produk-produk yang beraneka ragam itu (kenakaragaman hayati) harus disertifikasi dengan proteksi perlindungan HaKI. banjirnya penolakan tersebut karena akan banyak merugikan negara-negara ASEAN. Terutama yang sangat keras menolaknya ialah Thailand, sebagai negara yang kenaekaragaman hayatinya sangat beragam. Makanya, hingga saat ini usulan itu belum juga disepakati oleh pertemuan puncak ASEAN.
Bagi Indonesia setidaknya usulan tersebut juga diprediksikan akan mengakibatkan kerugian bagi bangsa. Setidaknya ada tiga kerugian yang akan dihadapi. Menurut Juno. Pertama, bahaya bagi sektor jasa di Indonesia (terutama perbankan). Kedua, bahaya dengan penerapan Hak atas kekayaan Intelektual (HaKI) yang makin ketat di Indonesia. Dan ketiga, bahaya ekspansi industri pertanian modern Eropa ke Indonesia.
Masalah HaKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus berkembang dan menimbulkan pro-kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara, terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan dan masalah pemanfaatan kekayaan keanekaragaman hayati dan kehidupan dunia Iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks terutama karena adanya dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.[1]
Salah satu agenda ASEAN tahun lalu adalah tersusunnya database HKI ASEAN bagi warga negaranya di setiap negara. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak dari para penghasil karya dan untuk menghindari perselisihan diantaranya (negara-negara ASEAN) mengenai persoalan hak kekayaan intelektual. Ini adalah soal cirri atau kekhasan budaya suatu bangsa. Agar setiap negaranya dapat mensosialisasikan negaranya dengan menggunakan budaya-budaya yang menjadi cirinya itu. Dan database ini juga akan memisahkan mana yang menjadi hak kekayaan intelektual bagi komunitas atau individu.
Menurut data yang dirilis ASEAN, masyarakat Indonesia baru sekitar 10% yang secara sadar untuk melindungi hak kekayaan intelektualnya. Data ini dilengkapi kebenarannya dengan angka yang sangat tinggi tentang pembajakan produk. Dengan angka dramatis pada penjualan VCD/CD (Video Compact Disk/Compact Disk) yang sarat praktek pembajakan. Walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pasal 72 yang memberikan sanksi bagi pelaku pembajakan, tetapi sasaran lain yaitu pengguna atau pemakai juga perlu diberlakukan sama status hukumnya dalam undang-undang tersebut.
[1] Juno. junosreflection.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar