Ekonomi Syariah atau Ekonomi Islam

Hal ini semoga bukanlah bagian dari terlalu larutnya saya berwacana dan tidak pernah mau mendalami prinsip-prinsip fundamental ekonomi dalam islam secara mendalam dan impelementasinya pada perekonomian nasional. Ini murni lintasan pikiran saja yang secara tidak sengaja saat lamunan-lamunan panjang yang saya porsikan setiap pagi hari sebelum memulsi aktivitas rutin atau berbagai agenda. Dan saya berharap juga tidak terlalu larut dalam hal ini sehingga menghambat kontribusi saya dalam mempelajari dan mengajarkan ekonomi islami ke sebanyak mungkin orang dan tempat, bersama amanah saya yang sangat berkaitan erat dengan hal ini, di FoSSEI misalnya.

Terkesan provokatif memang. Apa sebab? Sebab secara eksplisit perbedaan istilah ini tidak demikian penting untuk menjadi banyak pembahasan terlebih perdebatan. Namun, apa yang menjadi konsentrasi saya dalam hal ini adalah pada aplikasi islam dalam wilayah ekonomi, baik sektor keuangan perbankan, pasar modal, pasar, pemerintah dan rakyat sebagai pelaku ekonomi, perasuransian dan sosial ekonomi. Sehingga perbedaan penyebutan nama ini dianggap terlalu dipermasalahkan. Namun bagi saya pribadi yang mencoba memberikan ruang bagi pikiran saya untuk sedikit berpikir bebas, adalah perlu setidaknya untuk diperhatikan dengan seksama bagi stakeholders ekonomi islam dalam mengimplementasikan aplikasi islam dalam berekonomi. Adalah hal yang seharusnya menjadi gerakan bersama untuk dijadikan kesepakatan dan komitmen bersama dalam hal menjaga akhlak berekonomi. Siapapun yang mengakses ekonomi (saya yakin tidak ada satu golongan masyarakat yang tidak mengakses ekonomi) dan pada saat yang sama menjadikan setiap kegiatan ekonomi tetap berada pada wilayah-wilayah halal saja dari barang atau jasanya dan bagaimana perolehannya, perlu memperhatikan hal yang saya maksud. Yaitu akhlak ekonomi yang memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari akhlak islami itu sendiri. Sejak ekonomi berdasarkan prinsip islam ini muncul ke permukaan ekonomi nasional menjadi salah satu pemain dan juga kontributor pembangunan ekonomi nasional, yang dengan munculnya bank syariah sebagai benchmark ekonomi islami pada tahun 1992 yakni Bank Muamalat, kini hampir semua lini ekonomi baik keuangan, perbankan, pasar modal, perasuransian dan sebagainya, sudah dianggap menjadi satu kesuksesan yang cukup dibanggakan sebab syariah (dalam hal ini islam) ternyata juga memiliki konsep yang komprehensif untuk mengatur dalam bidang ekonomi. Kini perbankan syariah pada akhir 2010 menutup catatan akhir tahunnya dengan membukukan lebih dari 100 trilyun assetnya yang dikontribusikan dari 11 Bank Umum Syariah, dengan market share 3,2 % dari kue pasar perbankan nasional. Belum lagi perusahaan asuransi syariah, total transaksi keuangan (sukuk, misalnya), perolehan zakat, infaq dan sedekah, dan sebagainya.

Hal di atas setidaknya bisa terimplementasi karena majelis ulama Indonesia yang direpresentasikan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang memberikan ruang bagi implementasi keuangan secara syariah dengan berdasarkan pedoman syariah seperti fatwa maupun sumber yang sudah sangat jelas memberikan kehalalan satu transaksi tertentu (Al Qur’an dan as sunnah).

Mengapa saya mencoba membedakan secara cukup signifikan masalah perbedaan penyebutan nama ekonomi syariah dengan ekonomi islam. Padahal secara substansial bisa jadi sama. Dan memang pada dasarnya harusnya sama. Namun, secara terminologis saja boleh dibilang cukup berbeda. Dengan penjelasan bahwa islam itu sendiri terdiri dari 3 (tiga) pilar. Yakni aqidah syariah, dan akhlak. Sedang syariah hanya salah satu pilar saja dalam islam. Nah, inilah yang saya maksud atas pembasan yang membedakan perbedaan istilah tersebut. Tapi pada asumsi dasarnya yang coba saya bedakan adalah pada ruang lingkup ekonominya. Kalau ekonomi syariah, boleh jadi diangga hanya sebatas pada pilar syariah saja dalam islam. Dan kalau saya boleh saya definisikan kembali menjadi ekonomi halal saja. Dengan menafikan (mudah-mudahan tidak) ekonomi yang juga menjadi bagian dari ibadah juga akhlaknya. Ekonomi islam sudah seharusnya menjadi bagian dari ibadah bagi pelakunya, bertransaksi secara halal dengan menghindari yang haram, dan pada saat yang sama pula tetap berperilaku sebagaimana akhlak islami dalam berekonomi. Hari ini kita sama-sama melihat berbagai transaksi syariah yang memang halal secara akad, namun dianggap tidak islami jika dilihat dalam sudut pandang akhlak ekonomi. Apa kemudian motif sebagian besar orang memarkirkan dananya pada perbankan syariah? Apa murni untuk berjaga-jaga yang diperkenankan oleh islam dalam Islamic wealth management (pengelolaan harta) atau hanya menginginkan hadiah bagi nasabah yang beruntung mendapatkannya dari saldo rekening yang sangat besar, atau dari undian? Apakah kini user kartu kredit syariah yang memang secara akad transaksi adalah sah, tetap menjaga dari berhutang saat masih mampu membayar secara tunai dalam bertransaksi? Dan apakah pula tidak dengan sengaja menunda-nunda pembayaran hutang saat jatuh tempo meski secara syariah pun debitur dapat me-reschedule jadwal penagihan hutang tersebut. Atau juga bagi pengguna kartu kredit syariah tidak israf(berlebih-lebihan) dalam konsumsi yang juga dalam akhlak islami dilarang?

Nah, inilah yang saya coba bedakan ekonomi syariah dengan ekonomi islam. Dimana harapan ekonomi yang jauh lebih komprehensif dan integral adalah seperti harapan islam bisa mewarnai seluruh perangkat ekonomi secara menyeluruh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi