Re-Institusionalisasi Arsitektur Zakat Nasional

Generalisasi itu punya alasan sebenarnya. Jika dipikir-pikir memang bahwa pengelolaan zakat yang menuntut pengelolanya (amil) untuk memiliki integritas diri sebagai individu. Kemudian profesional, transparan, dan akuntabel secara institusi. Kemudian dalam pendayagunaan dana zakatpun tidak sembarang. Pendistribusian harus tepat sasaran. Sesuai panduan AL Qur'an yang 8 (delapan) ashnaf itu. Demikian juga dengan pendayagunaannya. Memporsikan secara tepat. Berapa yang didistribusikan dalam bentuk konsumsi(rumah tangga, pendidikan, dsb), modal usaha, atau pemberian dana tunai lainnya. Nah, nampaknya memang masyarakat melihat dari sisi normatif itu. Pengelola dan pengeloaannya harus tepat. Melihat pemerintah yang begitu, masyarakat tentu tidak percaya. Terlebih harus mengurusi dana amanah masyarakat yang sejatinya itu sebuah amanah umat. Jikapun setuju adanya sentralisasi, tunggu sampai pemerintah benar-benar mencapai apa yang biasa disebut Good Government Governence (tata kelola pemerintahan yang baik). Entah kapan hal itu benar-benar terjadi.
Pandangan yang lebih moderat adalah menyepakati sentralisasi, namun ada syarat-syarat yang harus bisa dipenuhi terlebih dahulu. Diantaranya hal di atas. Yang lainnya memberikan wacana institusionalisasi yang sama sekali berbeda dengan yang ditawarkan pemerintah adalah sebagaimanya yang di tulis oleh Noor Afilah dalam bukunya Arsitektur Zakat Indonesia (2009). Yang saya amati secara pribadi re-instutusionalisasi pengelolaan zakat nasional seperti formasi struktur pasar modal. Dimana fungsi-fungsi yang diperlukan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, dibentuk institusi baku yang menjalankan fungsii tersebut. Fumgsi-fumgsi tersebut diantaranya adalah fungsi regulasi (regulator), fungsi pengawasan (pengawas) dan fungsi operasional (Operator). Yang bertindak sebagai regulator yaitu perlu adanya Badan Zakat Indonesia (BZI). Kemudian bertindak sebagai pengawas adalah sejenis Badan Pengawas. Dan sebagai operator adalah Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sebagaimana kini telah ada. Persamaannya dengan praktek pasar modal indonesia adalah sebagimana demikian. Setelah saya amati memang sepertinya sama. Di pasar modal fungsi regulasi diperankan oleh Kementerian Keuangan. Sebagai pengawas pasar modal memiliki Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK). Dan operatornya adalah Bursa Efek Indonesia (BEI).
Maksud dari pemisahan institusi berdasarkan fungsi agar pengelolaan zakat nasional bisa dikelola secara profesional. Lebih akuntabel. Dan tetap berada pada koridor yang ditetapkan syariat islam. Menghindari conflict of interest jika terjadi dualisme fungsi. Dan ilustrasi yang agak menarik adalah bagaimana mungkin seorang wasit memberikan kartu kuning atau merah untuk dirinya sendiri. Ini jika fungsi pengawasan dan operasional diperankan oleh satu institusi. Hal ini yang terjadi kini pada pengelolaan zakat di Indonesia. BAZNAS yang bertugas sebagai pengawas-pun menjalankan fungsi operasional zakat dengan menghimpun dan mendistribusikannya sebagaimana BAZDA dan LAZ pada umumnya. Objektifitas pengawasan sangat dikhawatirkan apabila formasi institusinya seperti itu. Dan nampaknya memang yang lebih ideal untuk saat ini adalah sebagaimana formasi institusi pada pasar modal itu. Tapi apakah formasi itu akan diadopsi kelak menjadi arsitektur zakat nasional, saya tidak tau. Tapi yang saya mau begitu. Semoga.
Komentar
Posting Komentar