Puasa ; Mempertajam Kapasitas Eksekusi Narasi Organisasi Kita

Narasi, kapasitas, dan sumber daya. Begitu Anis Matta mempersyaratkan. Bagi organisasi atau komunitas yang butuh menjadi besar atau jika tidak minimal menjaga kontinuitas dan keberlangsungan dalam jangka yang sangat panjang. Agar usianya tidak ditentukan dan diakhiri oleh eksistensi individu atau figur manusianya.

Narasi adalah ide, gagasan, dan tujuan. Menjadi pertanyaan besar jika organisasi tidak punya narasi. Dapat dipastikan bahwa organisasi itu akan rapuh pada eksistensinya jika ia tak mau menentukan arah pada apa dan kapan ide itu terwujud.

Sumber daya. Ketersediaan orang, fasilitas, sistem kerja, dan uang. Merupakan pendukung mutlak yang harus ada dalam organisasi. Menjamin kenyamanan dalam kerja, menjamin efisiensi dalam gerak dan menjamin ketepatan dalam ukuran.



Kini yang jadi konsentrasi adalah kapasitas. Kapasitas kita menentukan, menjalankan dan mencapai narasi. Kapasitas kita meraup sumber daya, memanfaatkannya secara efektif dan memberdayakannya kembali agar bisa menghasilkan sumber daya baru. Itu. Tidak lebih. Minimal. Walau agak sedikit pragmatis. Tapi untuk ukuran kebutuhan organisasi yang kini sama-sama kita jalani sudah cukup.

Tuntutan masing-masing kita adalah mengeksekusi narasi yang kita bangun miniaturnya. Besaran dan ruang lingkup narasi yang kita tentukan menuntut untuk memiliki bahan dasar kapasitas diri yang lebih besar dari narasi itu atau paling minimal setara. Himpitan, masalah, tanggungjawab hanya bisa diselesaikan jika kapasitas kita melebihinya. Kita tidak akan pernah mampu menyelesaikannya jika kapasitas yang kita punya tidak sebesar masalah yang akan dihadapi.

Waktu tersisa hingga saat bulan Ramadhan itu tiba semakin sedikit. Sistem yang telah Allah turunkan untuk memaksa kita agar memiliki kemuliaan islam, adalah Karunia terbesar. Saya, Anda dan Kita semua begitu sulit untuk memaksa diri menjadi lebih shalih dari hari kemarin. Begitu sukar untuk mempersiapkan hari esok agar lebih produktif dalam beramal. Secara kualitas dan kuantitasnya. Maka, saat-saat bulan itu tiba, pastikan tiap masing-masing kita berada pada posisi siap diatur. Dibatasi. Dan diancam. Sekali lagi adalah untuk memaksa kita agar tunduk kepada Allah.

Setidaknya ada latar yang sama pentingnya dengan narasi organisasi kita untuk dieksekusi pada masa-masa mendatang. Yaitu pada persiapan diri kita untuk memiliki kapasitas diri sebagai eksekutor narasi. Sebagai intelektualis naratif. Yang punya kecerdasan merancang masa depan. Yang sensistif dengan kejemuan selalu berjalan di tempat. Yang hatinya gelisah apabila capaian-capaian itu hampir tidak pernah tercium harumnya. Dan yang dirinya begitu terbakar cemburu jika orang lain berhasil menginjakkan kakinya pada puncak amal solihnya. Nah, konsekuensi pribadi-pribadi kita menyatu pada simpul organisasi adalah pada bercampurnya kapasitas masing-masing kita. Baik yang punya potensi merusak atau mengkontruksi. Kapasitas mana yang mendominasi, begitulah kurang lebih kapasitas organisasinya.

Kemenangan di Badar adalah karena para prajurit punya kapasitas untuk menang. Juga karena Rasul sebagai pemimpinnya telah meyakini untuk dirinya dan para prajurit bahwa Allah tidak akan mengahancurkan umatNya. Dan keyakinan itu bermula pada kapasitas Rasul yang bergelora untuk meraih kemenangan. Lihat saja doanya.

Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya, Allah, sesungguhnya aku mengingatkanMu akan sumpah dan janjiMu.

“Ya, Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi, Ya Allah, kecuali jika Engkau menghendaki untuk tidak disembah untuk selamanya hingga hari ini.”

Begitu mendalam doanya. Mantelnya jatuh dari pundaknya. Dan Abu Bakar mengembalikannya ke posisi pundak beliau seraya berkata, “Cukuplah bagi engkau wahai Rasulullah untuk terus menerus memohon kepada Rabb engkau.

Hebatnya fenomena ini terjadi di bulan Ramadhan. Hari ke 17 ramadhan tahun kedua hijriah.

Kemudian pada bulan yang sama, negara ini diproklamirkan kemerdekaannya. Mulanya dari gerakan pemuda. Yang mengasingkan Bung Karno, Presiden pertama Indonesia, hingga memaksanya membuat teks proklamasi kemerdekaan. Lalu? Ya, merdeka. Setidaknya secara de jure negeri ini memang merdeka. Dan ada. Diakui. Namun hingga kini ada hutang dari Belanda bahwa ia belum lagi mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto. Tapi tak apalah. Implikasinya kurang lebih cukup. Dengan tidak adanya lagi penjajahan atas bangsa ini. Begitu.

Pembebasan kota Makkah (fathu Makkah) terjadi pula pada bulan ramadhan tahun ke delapan hijriah. Muzaffar Quthus berhasil menaklukkan pasukan Tartar dalam perang Ain Jalut juga pada bulan ramadhan. Shalahudin al Ayyubi menegaskan eksistensinya di tanah Palestina dengan mengusir pasukan salib yaitu ketika bulan ramadhan. Dan Muhammad al Fatih merebut Konstantinopel, mengawalinya dengan berpuasa selam tiga hari.

Daftar kemenangan – kemenangan di atas tidak lain karena ada sebab yang melatarinya bisa terjadi. Sebab yang paling menentukan berhasil tidaknya suatu capaian tertentu bisa dicapai atau tidak adalah ditentukan oleh manusia-manusia yang merancangnya dan juga mengeksekusinya. Ada kepercayaan pada dirinya (self confidence) yang begitu besar. Bukan pada kemampuan dirinya. Bukan. Tapi pada keyakinannya bahwa ia, saudaranya dan umatnya dijamin kemenangannya oleh Allah. Yang Maha Menentukan Takdir. Yang mentakdirkan sesuatu itu bisa mewujud atau tidak. Lalu sumber apa yang bisa mengisi keyakinan itu pada kapasitas sesorang, yang menjadikannya begitu layak untuk bisa ditakdirkan atau mencapai narasi ? Jawabnya agak sedikit rumit. Tapi pasti ada jawaban yang benar. Tetapi jawaban yang kini jadi referensi dan tepat, begitu adalah apa yang diutarakan Anis Matta. Seorang wakil Ketua DPR RI. Apa jawabnya? Kemenangan Jiwa katanya. Tapi definisi saya adalah Kematangan JIwa. Matang adalah bentuk lahiriahnya. Tapi fakta proses mulanya apa yang jadi definisi Anis Matta, kemenangan jiwa. Pertanyaan berikutnya adalah dengan dan lewat cara apa kita memenangkan jiwa kita. Sekali lagi Anis Matta, puasa katanya. Dan rahasia itulah yang setidaknya meyakinkan kita para pejuang komunitas islami untuk mencapai narasi bersama kita. Yaitu dengan mempertajam kapasitas kita dengan berpuasa. Waalahu alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi