Efektifkah Organisasi Dakwah Kita..?

Proses dakwah seharusnya juga tidak parsial. Terkotak-kotakkan pada segi tertentu saja. Ini yang membuat langkah-langkah dakwah itu gagal karena tidak menyentuh pada sisi yang vital dan startegis. Ini pula yang sama-sama kita rasakan saat orde baru menjadi nahkoda negeri ini dan nahkoda bagi umat islam. Gagasan seperti “Islam Yes, Partai Islam No” yang dikemukakan oleh parsialis tahun 70-an. Dan parahnya mendeklarasikan islam sebagai musuh politiknya.
Setelah reformasi tahun 1998, ini jadi awal era baru dakwah bagi umat islam Indonesia. Tahun itu merupakan titik pertama kemunculan ‘hawa’ kebangkitan umat. Buktinya, saat pemilu 1999, terdaftar 160-an partai politik yang menggantikan sistem tiga partai menjadi multipartai. Walaupun ternyata hanya 48 partai yang kemudian lolos verifikasi. Tapi diantara parpol itu ada banyak partai yang menjadikan islam sebagai asas mereka. Sebut saja tokohnya Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dll. Maka, yang perlu dicermati oleh kita semua adalah apa yang terjadi saat dakwah ini diisolasi dan dipangkas peranannya. Dampak dari aspek normatif agama yang dikesampingkan itu punya kaidahnya sendiri mengajarkan kepada mereka yang melakukan itu dan mereka yang diam ketika diperlakukan seperti itu. Rezim otoriter, pro kepentingan asing, korup, nepotisme, utang menumpuk dan tumpulnya penegakan hukum. Dan karena benih itu sudah tersemai terlalu lama ke ‘ladang’ negeri ini, ia berakar kuat. Sehingga, semua hal itu masih kita rasakan dampaknya saat ini meskipun usia reformasi telah menginjak 10 tahun lebih.
Saudaraku,
Peranan dan kontribusi kita amat sangat diperlukan bagi kepentingan dakwah. Tujuan-tujuan dakwah. Islam. Dan kemaslahatan umat manusia. Tugas besar mendirikan kembali khilafah islamiyah tidak serta merta dilakukan dengan revolusi. Tidak pula dengan cara-cara yang serampangan. Apalagi sendirian. Menyadari bahwa setiap kita adalah batu bata yang berfungsi sebagai bahan dasar atau elemen terkecil bangunan islam yang besar ini merupakan keniscayaan. Tidak lagi jadi bahan perenungan. Karena fitrah kita telah memaksa untuk beranggapan bahwa kita manusia sosial. Yang kita semua pahami bahwa kita tidak bisa hidup sendirian. Maka, berkehidupan di dalam suatu kelompok yang kemudian meng-komunitas, dan setelah itu men-jama’ah, merupakan kebutuhan. Butuh berjama’ah karena banyak amal-amal pribadi kita menjadi tidak efektif saat dilakukan sendirian. Dan karenanya kita menginginkan amalan pribadi kita menjadi efektif saat disatupadukan dengan amalan orang lain di dalam sebuah jama’ah. Amalan yang terkapitalisasi dari beberapa unsur-unsur amal menjadi sebuah gerakan amal. Yang dampaknya besar bagi kemanfaatan umat manusia.
Begitulah kenyataannya. Bahwa umat islam ini harus segera dikonsolidasikan agar bangkit kembali kejayaannya. Dan agenda konsolidasi itu akan efektif jika umat ini dikelompokkan atau disatukan dalam sebuah jama’ah. Ketika terlalu banyak jama’ah, maka sesungguhnya itu jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali.
Saudaraku,
Saat kita semua berdakwah di dalam sebuah jama’ah, harusnya keshalihan kolektif kita jauh lebih terasa daripada saat kita berdakwah sendirian. Setidaknya keshalihan itu tidak lebih kecil dari keshalihan salah satu individu dalam jama’ahnya. Syarat efektifitas sebuah jama’ah segera harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah yang terangkum dalam 5 M :
1. Menjadikan Ikatan akidah sebagai dasar persaudaraan.
2. Menjadikan Jama’ah sebagai sarana, bukan tujuan.
3. Membuat dan melaksanakan sistem.
4. Mengelola perbedaan, bukan menghilangkannya.
5. Menumbuhkan individu, bukan memanfaatkan.
Semoga indikator tersebut jadi ukuran bagi jama’ah kita untuk menilai sejauhmana efektifitas keberadaan jama’ah dengan segala aktifitasnya. Amin
Komentar
Posting Komentar