BankKu Nyar'i

Setiap kita sebenarnya sedang berada pada dimensi (ruang dan waktu) yang pasti tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Kita, disadari atau tidak, telah mengakses sektor itu (ekonomi) menjadi bagian dalam kehidupan duniawi. Dan juga, disadari atau tidak, kita telah melakukan usaha-usaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui perantara sektor ekonomi. Maka, sangat banyak peluang untuk melakukan apapun ditengah kompetisi ketat demi “meraih uang” dengan cara-cara instan dan merugikan pihak lain. Bahkan yang telah terbukti kelemahan dan kerusakan sistimnya, tetap saja menjadi opsi bagi pelaku-pelaku ekonomi.. Ya, karena orientasi proses akses ekonomi sudah jauh dari tujuan hidup di dunia. Jauh dari nilai-nilai keluhuran dan etika moral dalam berbisnis. Hal ini sangat berbahaya, karena Allah sebenarnya menciptakan diri kita hanya untuk beribadah kepada-Nya. Bukan sekedar meraup kekayaan untuk memenuhi syahwat pribadi dan kolektif.

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat ; 56)

Maka sejatinya,landasan aktivitas ekonomi kita harusnya berada pada nilai-nilai ibadah, sehingga setiap niat, usaha, yang telah dilakukan tercatat sebagai amal soleh dan menempatkan hasil dari usaha itu pada ruang kesabaran menanti ketetapan Allah SWT.

Bank Konvensional

Apabila mengaitkan dengan aktivitas perbankan, maka hal ini merupakan salah satu yang menjadi pilihan kita berpartisipasi dalam perekonomian. Dengan berbagai produknya yang sama-sama telah kita kenal dan menjadi bagian dari nasabah perbankan. Giro, tabungan, deposito, reksadana, saham dan produk lain yang terkait.

Yang patut kita cermati dari proses mekanisme operasi bank konvensional adalah bank-bank tersebut masih menyertakan instrumen bunga pada setiap produk dan penyaluran kredit yang oleh Majelis Ulama Indonesia telah ditetapkan sebagai bagian dari riba yang diharamkan Allah SWT.

Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka ( yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS, Ar Rum ; 39)

Selain instrumen bunga yang digunakan, mekanisme operasi perbankan tidak menerapkan aturan yang berdasarkan nilai-nilai akhlak dan moral agama. Ada contoh yang masih tetap harus menjadi sejarah di dunia perbankan kita yaitu penggelapan dana nasabah Bank Century oleh pemilik bank Robert Tantular sebesar Rp.1,3 trilyun. Setidaknya ada beberapa catatan dari infobank yang menjadi sebab bangkrutnya bank tersebut dan merugikan tidak hanya pemilik tetapi juga kepada nasabah penyimpan. Pertama, masalah tidak adanya saham pengendali melebihi 25%, dan tercatat pula 55% kepemilikan saham tersebar kepada publik. Kedua, masalah kualitas aktiva produktif yang buruk. Hal ini disebabkan karena asset Bank Century banyak disusupi surat berharga valuta asing (valas) berkualitas rendah. Lebih runyam lagi surat berharga itu tidak dapat dicairkan karena surat tanpa kepemilikannya dipegang oleh pemilik. Ketiga, masalah likuiditas. Buruknya kualitas aktiva produktif menyebabkan likuiditas menyusut. Dan pada akhirnya Bank Century gagal menyediakan dana untuk kliring sebesar Rp. 5 milyar. Maka bangkrut akhirnya. Semua nasabah penyimpan melakukan aksi tuntutan untuk segera dikembalikan uang yang telah diinvestasikan yang secara nasional berjumlah Rp. 1,4 trilyun.

Ini jadi pelajaran berharga bagi kita sebagai surplus unit yang berniat melakukan investasi atau menitip uang pada bank-bank yang tidak amanah dalam pengelolaan dana, terutama dana pihak ketiga. Dan haruskah kita menjadi bagian dari orang-orang yang tidak hanya rugi materi tetapi juga rugi immateri (melanggar aturan Allah)? Semoga tidak.

Bank Syariah

Keuntungan yang ditawarkan perbankan syariah ketika menabung atau menginvestasikan (mudharabah) sebagian dana kita salah satunya adalah keuntungan atas bagi hasil usaha (profit loss sharing). Hasil keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan usaha mikro atau makro akan dibagikan berdasarkan kesepakatan (akad) antara pemodal (shohibul maal) dengan pengguna modal (mudharib). Jika tingkat keuntungan tinggi, besar kemungkinan tingkat bagi hasil yang akan dibagikan bisa melebihi tingkat suku bunga yang berlaku/ditetapkan bank. Tetapi kita juga sangat menyadari bahwa dalam melakukan aktivitas ekonomi akan ada suatu waktu usaha itu untung dan bisa juga mengalami kerugian. Ketika rugi, maka kerugian ada yang ditanggung pemodal (akad mudharabah) dan ada yang ditanggung bersama (akad musyarakah). Persoalan ini tergantung akad pada awalnya.

Dewan Pengawas Syariah

Bentuk lain dari penerapan prinsip-prinsip syariah pada bank syariah adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Keberadaan DPS mutlak dibentuk oleh perbankan yang menganut ketentuan syariah. Fungsi dari DPS tidak lain adalah untuk memastikan mekanisme penghimpunan, pengelolaan dan pembiayaan tetap berdasarkan prinsip syariah. Dan juga menjaga dari transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam. DPS dalam melaksanakan tugasnya dinaungi oleh Dewan Syariah Nasional –Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Ada satu keniscayaan yang patut kita sadari mengenai aktivitas ekonomi yang telah dan akan kita lakukan. Sesuatu itu merupakan akibat dari proses aksi dan interaksi ekonomi kita dengan orang lain. Sesuatu yang menjadi ukuran sukses tidaknya kita menjalani hidup di dunia. Sesuatu yang setiap kita pasti membutuhkan untuk kembali setelah masa usia berakhir. Sesuatu itu adalah balasan baik (pahala). Yang hanya dapat diperoleh dengan cara-cara dan tujuan yang baik pula. Dan bank syariah adalah salah satu sarana memperoleh hal itu. Agar kita, lebih khusyu menyelesaikan tugas-tugas ibadah kepada Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi