Lamunanku Tentang Pasar Tradisional

Pagi tadi aku merasa suntuk. Sebab hari-hari yang kujalani barangkali menuntutku untuk secara nyata melihat realitas kehidupan yang tidak pernah terbayangkan dan terfikirkan oleh pikirku. Mmm. Ya, karena tipe belajarku kinestetik, maka jauh lebih mudah untuk berfikir dan memperoleh ide-ide dengan menggerakkan organ-organ fisikku. Tapi kini aku lebih nyaman berfikir sembari jalan kaki. menelusuri arah yang dituju, tapi tidak menutup kemungkinan melewati jalan mana saja. yang penting ide itu harus dapat. Hhhh.

Sudah lama aku tidak berkeliling di daerah tempatku kini tinggal. Barangkali kesibukan kuliah dan kegiatan kemahasiswaan menyita waktuku. Padahal dulu aku sering melakukanya. Tapi, sebenarnya sih tidak sibuk-sibuk amat. Kalau direncanakan mungkin bisa. Malas mungkin. Ha^_^.

Ramadhan ini aku bertekad menulis essay-essay berkaitan dengan pilar-pilar ekonomi syariah. Tapi, mungkin berat kini bagiku. Tapi tetap menulis hal yang tidak terlalu berbeda. Pilar-Pilar Miniatur Islam. Waah. Nampak sama memang. Tapi bagiku berbeda. Miniatur itu berurusan dengan wilayah konsep dan rancangan. Tapi kalau ekonomi syariah senyata-nyatanya, berat bagku kini. InsyaAllah akan berkutat pada tataran normatif saja. Inipun aku rasa berguna. Karena akan jadi benchmarking implementasi ekonomi. Juga akan jadi benchmark untuk menilai apakah aplikasi syariah dalam pembangunan ekonomi benar-benar sebagaimana mestinya, bukan sebagaimana bisanya atau adanya.

Mmm. kembali ke topik. Aku menyusuri pasar. Pikir liarku berkata, Hmm, simulasi jadi menperindag rasanya. Pagi-pagi sudah inspeksi ke pasar. Mengontrol harga, dan mengamati transaksi jual-beli. Apakah pemerintah perlu operasi pasar di sini untuk mengendalikan harga agar kembali stabil jika naik. Ha. Berdempet-dempetan dengan banyak ibu-ibu rumah tangga. Bapak-bapak. Pedagang. Dan anak-anak kecil penjajak kantong plastik yang kuamati terus menerus membututi ibu-ibu yang sedang berbelanja. Berharap ia beli kantong plastik itu. Hhh. Becek. Duhh, sesak rasanya. Belum lagi tingkah polah angkot yang serasa jalan itu miliknya, lalu seenaknya melintangkan mobil di tengah jalan. Seketika macet. Klakson bersuara akhirnya. Ribut. Sumpah serapah yang mereka muntahkan. Tak jarang sampe berkelahi. Mau jadi jagoan pikirku mungkin.

Sesaat setelah agak lengang, aku melihat yang baru kusadari. Kini pasar yang dulu pernah kulewati selalu ketika akan berangkat ke sekolah, ternyata sudah di"geser" oleh proyek pembangunan pusat grosir. Waahh. Kok Bisa???:) Pikirku kini pasar menjadi termarginalkan. Atau sengaja dimarginalisasi. Tepatnya seperti apa aku tidak tau. begitupun sengaja atau tidak. Pahamku adalah kini pasar, tidak hanya di sini tapi juga dimana-mana, termarginalisasi. Ada upaya untuk menggantinya, mensubtitusinya dengan mall-mall yang katanya menjanjikan diskon pada beragam produknya. Jaminan barang higienis. Nyaman. Dan prestise. Dijamin setelah keluar dari bangunan mall-mall itu, orang kan memandangmu dengan sayu sambil mata mereka layu. Melihat tingkahmu kini sudah beda. Pokoknya beda ajah. Entah apa bedanya. Oooh...tampil beda maksudnya. Ya...ya...ya....!!!

Aku yang belajar ekonomi islam bertanya-tanya. Apa begini kelak yang ekonomi islam mau? Hm? Corak seperti inikah yang akan jadi potret praktek berekonomi yang mengenakan wajah islam? Duhh, bingung. Ekonomi islam yang membasiskan pembangunan ekonominya dari pertumbuhan sektor riil, atau dengan kata lain memperkuat basis pasar barang dan jasa, sampai saat ini akupun belum lagi mendapatkan penjelasan soal ini. Memang, nampaknya bukan soal bentuk atau bagaimana dan dengan apa praktek ekonomi riil itu diimplementasikan. Mau pasar itu pake gedung atau tidak. Mau dengan seperti ini adanya. Tetap becek. Bau. dan kumuh. Bukan. Bukan soal itu. Tapi yang jadi konsenku adalah, pada muara yang jadi hasil penguatan basis ekonomi itu. Basis ekonomi rill bukankah untuk semakin mensejahterakan rakyat dengan level manapun. Tentunya diutamakan untuk level menengahh ke bawah. Dan untuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pas garis kemiskinan pun begitu. He. Sebab akses ekonomi mereka dan upaya mengembangkan ekonomi keluarga mereka, tidak mampu melampaui level-level ekonomi yang rumit. Bagi mereka bisa berdagang, lalu menghasilkan, itu sudah cukup. Soal investasi dan segala macamnya, pikirku, itu cuma imajinasi mereka. Sebab memang demografi masyarakat kini, masih berpendidikan rendah. Yang dengannya jadi sebab skeptisisme pada pola-pola hidup yang baru, dirasa mereka adalah hal yang tidak lumrah. Jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Mimpi kali yee.

Maka, dalam hal ini. Dalam lamunanku pagi ini. Harapku ada miniatur ekonomi islam yang kini bisa disajikan di tengah-tengah umat. Di kaji para akademisi. Di kritisi oleh para ahli. Dan di aplikasi oleh para praktisi. Yang bisa jadi standar nilai untuk mengukur dimana letak kekurangan. Dimana sisi yang harus disisihkan. Dan apa yang harus direduksi. Agar ekonomi masa depan yang kini sedang dibangun ini bisa sesejahtera para pendahulu. Para Khalifah. Dan kesejahteraan itu mewujud senyata-nyatanya. Semoga saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi