Peperangan Dual Banking System 2010 (warming up series to ‘duel’ series)
Sistem Perbankan Pasca Krisis 2008
Runtuhnya sektor keuangan dunia yang dimotori oleh keuangan Amerika Serikat memperlihatkan kembali ketidakstabilan dan kebobrokan capitalism economics dimana pada setiap aktivitas ekonomi selalu hanya bermotif menggelembungkan keuntungan meskipun dengan cara-cara yang sama sekali tidak memperdulikan dampak secara makro. Krisis yang berawal dari terlalu ekspansifnya pemerintah AS dalam memberikan kredit KPR kepada siapapun tanpa terkecuali debitur yang sangat berisiko tinggi ini telah meru
ntuhkan sektor keuangan AS dan setidaknya tiga dari lima bank investasi terbesar menyatakan diri bangkrut. Lehman Brothers bangkrut september 2008, Bear Sterns dan Merril Lynch terpaksa diambil alih oleh bank lain. Sementara Morgan Stanley dan Goldman Sachs meskipun masih bisa bertahan tetapi berubah menjadi bank komersial. Begitu pula American International Group (AIG) yang juga merasakan kerugian yang sangat besar. Dan pada akhirnya harga minyak pun anjlok.

Sektor keuangan Indonesia ternyata juga jadi tempat ‘bermukimnya’ dampak kehancuran ekonomi global yang titik ledaknya berasal dari Amerika Serikat. Negara adidaya itu memang memiliki kedigdayaan ekonomi yang hingga beberapa dekade belum ada Negara atau system yang kemudian meruntuhkannya dan menggantikan dengan system ekonomi yang sama sekali baru. Krisis ekonomi yang bersumber dari defaultnya subrime mortgage ini memperlihatkan bahwa krisis akan selalu terjadi layaknya sebuah siklus. Hanya saja keteraturan waktunya yang kemungkinan tidak akan pernah sama. Tetapi pada suatu waktu krisis pasti terjadi.
Berdasarkan laporan ekonomi Bank Indonesia, dampak yang benar-benar terasa dan nyata adalah besarnya penarikan dana asing dari instrument keuangan domestic dan mengetatnya likuiditas keuangan domestic yang disebabkan ketatnya pula likuiditas global. Ini tentu sangat berdampak pada rentannya kepercayaan masyarakat terhadap ketahanan bank secara nasional. Nasabah tampaknya sudah memahami betul bahwa kondisi yang buruk saat itu bisa saja mengakibatkan dana simpanan menjadi sulit dicairkan atau bahkan bisa saja terancam hilang. Maka, jika melihat pula yang dilakukan pemerintah adalah membuat PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) nomor 3 tahun 2008 dengan mengamandemen UU LPS yang mengatur kriteria dan persyaratan cakupan dana pihak ketiga (dana nasabah penyimpan) yang sebelumnya hanya menjamin hingga Rp. 100 juta, menjadi Rp 2 Miliar. Dan setidaknya peraturan ini mampu meredakan gejolak ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank. Terlepas dari dugaan perubahan peraturan yang dilaporkan BPK beberapa saat lalu hanya untuk kepentingan rencana bail out Bank Century yang likuiditasnya melorot karena dirampok pemiliknya. Tetapi secara fundamental BI mengklaim perbankan yang merupakan bagian dari instrumen keuangan tetap berada pada posisi yang cukup stabil, mengingat peraturannya perbankan dilarang menginvestasikan dana nasabahnya pada instrumen yang berisiko tinggi.
Lain hal dengan perbankan syariah yang saat itu baru-baru saja menjajaki pertumbuhannya. Sebab sudah ada lima bank pada akhir 2008 yang telah beroperasi dengan status Bank Umum Syariah (BUS) setelah lama menginduk dari bank asalnya masing-masing. Dengan didukung Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimiliki bank umum konvensional sebanyak 25 UUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebanyak 139 bank, membuahkan hasil yang menggembirakan di tengah terpaan krisis global. Perbankan syariah secara nasional terkategori aman dan tahan terhadap krisis. Ini dibuktikan dengan sumbangsihnya terhadap negara dalam bentuk penyerapan tenaga kerja yang bekerja di bank syariah sebanyak kurang lebih 6.609 orang dan pembiayaan mencapai Rp. 38,199 triliun dimana fokus utamanya adalah untuk menggenjot sektor riil dengan basis pembiayaan yang relatif menguntungkan dan didasarkan pada prinsip keadilan diantara dua pihak, selain tentunya sesuai syariah dalam mekanisme yang jadi landasan fundamental.
Warming up Dua Sistem Perbankan
Dengan disadari atau tidak bahwa perbankan yang secara nasional masih didominasi oleh perbankan konvensional, mulai muncul riak-riak ketidakpercayaan masyarakat dengan system perbankan yang satu ini. Mengingat apa yang terjadi beberapa saat setelah krisis, bank-bank sangat ketat likuiditasnya. Ada LDR (Loan Deposit Ratio) yang melebihi 100% dari dana pihak ketiganya memberikan sinyal kekhawatiran mengenai posisi likuiditas yang sehat bagi bank. Khawatir jika kredit kembali macet maka dana-dana nasabah terancam hangus terutama diluar plafon penjaminan.
Rentannya perbankan nasional ketika itu menjadi momentum kembali diliriknya bank syariah yang meskipun telah lama berdiri beberapa bank tetapi ketertarikan masyarakat akan keuntungan bunga yang besar dari bank konvensional mengalihkan mereka dari perbankan syariah. Ini pula saat dimana perbankan syariah yang dilaporkan Bank Indonesia tahan terhadap terpaan krisis menjadi ‘teladan ekonomi’ secara agregat. Sebab skema pembiayaan yang menjadi basisnya bermuara pada sektor riil. Dimana krisis yang sering dirasakan Indonesia tidak terlalu berpengaruh secara fundamental terhadap ekonomi nasional dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang disumbangkan dari sektor riil cukup signifikan memproteksi dampak krisis yang besar. Begitupula dengan perbankan syariah. Karena tidak melakukan penyertaan di sektor keuangan dalam jumlah yang sangat besar dan berisiko, maka dampaknya pun hampir tidak dirasakan.
Warming up Dua Sistem Perbankan
Dengan disadari atau tidak bahwa perbankan yang secara nasional masih didominasi oleh perbankan konvensional, mulai muncul riak-riak ketidakpercayaan masyarakat dengan system perbankan yang satu ini. Mengingat apa yang terjadi beberapa saat setelah krisis, bank-bank sangat ketat likuiditasnya. Ada LDR (Loan Deposit Ratio) yang melebihi 100% dari dana pihak ketiganya memberikan sinyal kekhawatiran mengenai posisi likuiditas yang sehat bagi bank. Khawatir jika kredit kembali macet maka dana-dana nasabah terancam hangus terutama diluar plafon penjaminan.
Rentannya perbankan nasional ketika itu menjadi momentum kembali diliriknya bank syariah yang meskipun telah lama berdiri beberapa bank tetapi ketertarikan masyarakat akan keuntungan bunga yang besar dari bank konvensional mengalihkan mereka dari perbankan syariah. Ini pula saat dimana perbankan syariah yang dilaporkan Bank Indonesia tahan terhadap terpaan krisis menjadi ‘teladan ekonomi’ secara agregat. Sebab skema pembiayaan yang menjadi basisnya bermuara pada sektor riil. Dimana krisis yang sering dirasakan Indonesia tidak terlalu berpengaruh secara fundamental terhadap ekonomi nasional dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang disumbangkan dari sektor riil cukup signifikan memproteksi dampak krisis yang besar. Begitupula dengan perbankan syariah. Karena tidak melakukan penyertaan di sektor keuangan dalam jumlah yang sangat besar dan berisiko, maka dampaknya pun hampir tidak dirasakan.
Komentar
Posting Komentar