Celaka Jika ‘Buta’ Dalam Kegelapan


Apalagi kecelakan yang paling mengerikan selain dari butanya nurani dalam kegelapan yang sedang menimpa atas suatu negeri. Negeri yang gersang ini hampir mengenaskan karena tidak hadir kembali sosok pahlwan yang mau menyalakan lilin dan mempertahankan kontinuitas cahaya lilin itu agar bisa selalu menyinari dalam gelap. Kegelapan negeri ini terlalu pekat. Pekat laiknya kopi yang terlalu banyak komposisinya. Pahit rasanya. Cuma sebagian kecil yang menyukainya. Itupula banyak faktor. Ada yang tidak sanggup membeli gula. Ada pula yang memang sedang mengidap penyakit diabetes. Hampir tidak ada yang benar-benar menyukai pahit melainkan karena keterpaksaan saat meminumnya. Begitu pula negeri ini. Tidak ada yang senang terus-menerus dalam gelap. Tidak tentu arah. Tidak menentu tujuan. Dan lambat dalam hal apapun. Cuma secercik cahaya yang bisa menuntun langkah kaki agar tetap bisa melangkah.

Lantas bagaimana jika buta dalam gelap? Dalam dirinya saja sudah tidak terarah. Terlebih dalam kondisi gelap gulita. Kecelakaanlah akhirnya.

Ini yang membuat kita semakin geram jika kegelapan negeri ini ternyata dipimpin oleh orang-orang yang ‘buta’. Analoginya sederhana. Jika kita berada dalam ruangan yang gelap. Kemudian penuntun kita ternyata buta penglihatan fisiknya. Harus kemanakah kita? Tidak ada aktivitas yang bisa lakukan kecuali selalu mencela kegelapan dengan menghujat-hujat perusahaan listrik. Begitulah kita hari ini. Hampir jika negeri ini meredup lebih gelap dari sebelumnya, kita semua bingung harus melakukan apa. Tetapi setidaknya kita bisa menuntut kepada para ‘masinis’ kereta panjang negeri ini agar bisa selalu menuntun kita sebagai masyarakat untuk tetap selalu optimis meski dalam gelap. Inilah yang sepertinya kita sepakat meskipun tidak memutuskannya lewat konsensus, bahwa negeri ini ternyata tidak dituntun oleh masinis yang mau menuntun penumpangnya untuk berada pada jalur yang benar. Tampaknya memang belum tepat juga jika dianggap tidak mau. Sebab kemauan yang melahirkan kinerja bermula dari pemahaman. Mungkin tepatnya masinis itu belum atau bahkan tidak pernah tau kemana penumpang ini harus dituntun. Sehingga sekalipun menuntun, tapi kadang menjerumuskan.

Ada satu kegeraman yang membuat dada meradang. Seolah aliran darah ini mengalir sangat cepat sehingga terasa muncul riak-riak emosional. Pagi ini (Rabu, 17 Februari 2010). Sesaat setelah membaca halaman demi halaman media massa nasional. Di pojok kiri bawah halaman 6 Harian Republika. Ada berita yang nyentil menurut saya. Berita tentang Batam yang PemKotnya berencana mengenakan pajak kepada PSK (Pekerja Seks Komersil) singkatan umumnya. Kepanjangan bagiku PSK itu (Pekerjaan Sangat Kotor). Bagaimana mungkin PAD (Pendapatan Asli Daerah) bisa bersumber dari bisnis illegal yang memang tak akan pernah legal? Bukankah ini sinyal pembenaran praktek seks bebas di pulau yang tidak jauh dari Singapura ini? Hhhhuuuh. Mengapa sangat tergiur dengan potensi pendapatan daerah yang akan bisa diserap sedang dampaknya pula jauh lebih besar dari besaran anggaran yang bisa diserap? Secara normatif tujuan yang benar harus dilakukan pada proses-prose yang benar pula. Agar tujuannya benar-benar terwujud. Ternyata secara statistik juga tercatat rapi berapa jumlah PSK yang beredar di Batam itu. Ditambah hitung-hitungan yang akhirnya keluar angka Rp 6,4 miliar per tahun sebagai angka potensi pajak yang akan diterima. Begini redaksinya. “Jika nilai pajak Rp 150.000, dikalikan 1.200 PSK, kali 30 hari kali 12 bulan, PAD yang bisa didapat Rp 6,4 miliar,” kata dia(Anggota Komisi I DPRD Kota Batam, Riki Syolihin). Luar biasa. Fasih benar retorikanya. Cermat pula hitungannya. Memang ‘layak’ jadi anggota dewan. Geli harusnya kita. Tampaknya tahu betul dimana saja PSK itu beredar. Dan agenda yang cukup ‘cemerlang’ juga untuk mensurvei PSK yang menduduki kota Batam. Tapi statistik orang-orang miskin dianggap sampingan. Katanya di Teluk Panda ada 40 Bar yang di dalamnya terdapat masing-masing 30 PSK. Jeli juga ternyata ketika membedakan mana yang PSK dan yang bukan (karyawan pengunjung atau yang lainnya).

Apa jadinya negeri ini jika semua itu terjadi. Sudah gelap, dituntun oleh orang buta pula. Dan sepertinya memang negeri ini semakin mencemaskan. Sebagaimana kecemasan Asro Kamal Rokan. Yang Ia sangat cemas bahwa bangsa ini selalu dan tampak sedang menyakiti dirinya sendiri. Cemas pula Aku sebagai putra bangsa ini. Cemas jika telah ‘halalnya’ negeri ini untuk di azab karena zina dan riba sudah akut pada penyakit bangsa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi