Tujuan Akuntansi Syariah Sebagai Acuan Konsep Dasar Akrual

Sebagaimana diketahui dalam kerangka konseptual akuntansi (conceptual framework), sebagaimana yang dikemukakan Adnan (2005), bahwa syariah adalah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan filsafat moral. Dengan kata lain, syariah juga berhubungan dengan aspek-aspek pendukung tujuan berekonomi, termasuk akuntansi dalam hal ini. Adnan (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi dalam agama (Islam) yang saling berhubungan dalam kerangka tujuan akuntansi menurut Islam, yaitu upaya mencari keridhoan Allah SWT sebagai tujuan utama dalam menentukan keadlian sosial ekonomi. Kedua, merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi keawajiban kepada khalayak banyak di masyarakat. Ketiga, mengejar kepentingan pribadi, yakni memenuhi kebutuhan sendiri.
Atas dasar tujuan akuntansi menurut Islam yang dikemukakan Adnan (2005) tersebut dapat diserap beberapa poin penting dalam akuntansi Islam. Bahwa yang menjadi tujuan dari praktek akuntansi, Islam mengatur bahwa keridhoan Allah SWT-lah yang menjadi tujuan utama dari seluruh proses akuntansi. Yakni dengan menjalankan segala perintah Allah dalam Al Qur’an dan dalam Hadits Rasulullah saw dengan pada saat yang sama tidak melanggar prinsip-prinsip syariah dalam bermuamalah. Kemudian, tujuan terpenting yang selanjutnya ialah mementingkan kepentingan kemaslahatan masyarakat umum dengan menjaga hak-hak mereka agar tidak terzhalimi. Kemudian Islam pun dalam hal ini tetap tidak menafikan kepentingan pribadi dalam mengejar keridhoan Allah SWT dan menjaga keadilan bagi masyarakat banyak.
Oleh karena itu, poin-poin substansial yang dikemukakan Adnan (2005) tersebut perlu perincian yang lebih spesifik untuk menjadikannya standar acuan dalam perumusan prinsip-prinsip dan dasar-dasar akuntansi menurut Islam. Dalam hal ini Syahatah (2001) merumuskan beberapa tujuan terpenting akuntansi dalam Islam sebagaimana berikut:
1.                  Perlindungan Harta (hifzul maal)
Para ahli tafsir mengemukakan berkaitan dengan Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 pada potongan firman Allah yang berbunyi “faktubuhu” berarti ‘tuliskanlah’. Bahwa untuk menuliskan uang dan harta adalah suatu keharusan untuk menjaga harta dan mengholangkan keragu-raguan.
Al Hariry sebagaimana yang dikutip Syahatah (2001) mengatakan:
Sesungguhnya bekerja menghitung itu harus teliti dan akurat, sedangkan pena si pencatat (akuntan) adalah sebagai pengontrol. Adapun hisbah adalah orang yang bertugas menjaga keuangan. Jadi, kalau tidak karena hasib (pengontrol), rusaklah hasil usaha, timbullah taghabun (saling menyalahkan), aturan-aturan muamalah tidak berlaku, konflik yang terus membelenggu, serta senjata kezaliman yang menghunus sampai waktu penghitungan. (hlm 45)

            Keterangan tersebut menjelaskan bahwa peranan akuntansi (pencatatan), selain memelihara harta, dituntut pula menghitung secara teliti dan akurat, yang dalam artian mencatat secara benar. Di mana tugas akuntan sebagai pengontrol bertanggungjawab penuh atas apa yang dicatatnya. Begitupula akibat baik maupun buruknya.
2.                  Eksistensi Pencatatan (al Kitabah) Ketika Ada Perselisihan
Dalam al Qur’an surat Al Baqarah ayat 282 menjelaskan bahwa eksistensi pencatatan dalam transaksi keuangan, terutama pada harta yang dimiliki, adalah untuk memberikan fasilitas kesaksian yang kuat ketika terjadi perselisihan pada suatu transaksi atau harta. Terutama di depan pengadilan, perselisihan yang tidak menentu kebenarannya dapat dihindari dengan adanya pencatatan. Sebagaimana firman Allah:
“…(pencatatan itu) lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu…”(Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282)
3.                  Dapat Membantu Dalam Mengambil Keputusan
Imam Syafi’I sebagaimana yang dikutip Syahatah (2001) mengatakan “Siapa yang mempelajari hisab (ilmu hitung), luaslah pikirannya,”(hlm 46). Atas dasar ini Syahatah (2001) mengartikan bahwa seorang pedagang atau siapa saja, tidak akan mengungkapkan pikiran yang benar dan sehat, atau mengambil keputusan yang bijaksana, tanpa bantuan data-data tercatat dalam surat atau buku.
4.                  Menentukan Hasil-Hasil Usaha Yang Akan Dizakatkan
Dalam perhitungan zakat, harus diketahui hasil perdagangan dalam bentuk penjualan maupun pendapatan. Dari modal pokoknya, keuntungannya maupun kerugiannya. Atas dasar perhitungan tersebut maka dapat dihitung jumlah zakat atas hartanya. Dalam hal ini Maimun bin Mahran yang dikutip Syahatah (2001) mengatakan:
Jika telah sampai waktu untukmu berzakat, perhatikanlah apa-apa yang kamu miliki seperti uang dan barang-barang, kemudian nilailah barang-barang itu dengan uang. Kalau ada utang yang sanggup dilunasi, hitunglah, dan bayarlah dari uang itu, dan zakatilah sisanya. (hlm 47)

5.                  Menentukan dan Menghitung Hak-Hak Yang Berserikat
Dalam praktek perdagangan dikenal akad-akad yang jenisnya perserikatan antara modal dengan modal (syirkah al’inan), antara modal dengan keahlian (syirkah mudharabah), antara keahlian dengan keahlian (syirkah mufawadhah) dan antara modal dengan nama baik (syirkah wujuh).
Dasar-dasar akuntansi yang diatur oleh Islam adalah di antaranya untuk memastikan hak-hak yang berserikat mendapatkan hasil yang telah disepakati. Terutama dalam distribusi bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh dari perserikatan dagang tersebut. Agar juga mencegah adanya kezaliman di antara mereka. Sesuai firman Allah SWT:
“…..Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; amat sedikitlah mereka ini…”(Al Qur’an Surat Shaad ayat 24)

6.                  Menentukan Imbalan, Balasan, dan Sanksi
Akuntansi dalam Islam ditujukan untuk memberi fasilitas dalam perhitungan imbalan setelah adanya transaksi atau adanya perdagangan, balasannya dan sanksi jika terdapat temuan adanya penyelewengan. Dengan konsep ini, maka akuntansi Islam sangat dekat sekali dengan akuntansi sebagai pertanggungjawaban sumber daya ekonomi, baik menyajikan informasi keuangan maupun kerugian keuangan.
            Tujuan-tujuan akuntansi Islam menurut Syahatah tersebut setidaknya merepresentasikan tujuan akuntansi yang sesuai dengan tujuan mumalah itu sendiri. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagaimana yang dikemukakan Hulwati (2009), yakni pertama merupakan pengabdian kepada Allah. Kedua, berorientasi pada akhirat. Hal ini didasarkan pada Al Qur’an Surat Al Qashash: 77. Ketiga, harta yang diberikan Allah diberikan kepada orang-orang yang memerlukan. Dan keempat, tidak melakukan kerusakan di masyarakat. Sehingga, pada dasarnya hukum-hukum yang dijelaskan oleh ajaran muamalah adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia dengan memperhatikan keadaan, waktu dan tempat.
            Oleh karena itu, penentuan konsep-konsep dasar maupun prinsip akuntansi menurut Islam harus mengacu kepada tujuan akuntansi Islam. Termasuk konsep dasar akrual sebagai salah satu basis pengakuan dan pencatatan akuntansi perlu ditinjau kembali relevansinya terhadap pencapaian tujuan akuntansi Islam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Konsep Dasar Akuntansi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar