Manusia Menurut Al Ghazali
Filsafat Islam dan tasawuf, pada umumnya, memandang manusia terdiri dari dua substansi : substansi yang bersifat materi (badan) dan substansi yang bersifat immateri (jiwa), dan bahwa hakikat dari manusia adalah substansi immaterialnya. Hal 2. (oleh para filosof, al nafs disebut substansi yang berdiri sendiri karena dipandang bebas dari (tidak terikat pada) badan. Lihat M Saeed Sheikh, A Dictionary of Muslim Philosophy, Institute of Islamic Culture, Lahore 1976.
Ketinggian dan kesempurnaan manusia deprioleh dengan memfungsikan substansi immaterial itu, dengan jalan mempertajam daya-daya yang dimilikinya. Filsafat Islam menggunakan kata al nafs untuk substansi immaterial itu. Al nafs mempunyai daya-daya dan yang terpenring bagi filosof adalah daya berfikir yang terkandung di dalamnya. Kesempurnaan manusia diperoleh dengan jalan mempertajam daya berfikir ini(al insane hayawan nathiq, manusia adalah hewan yang berfikir). Hal 2.
Di dalam tasawuf, akal bukan merupakan daya saing yang terpenting karena usaha penyempurnaan diri di dalamnya bukanlah proses intelektual, melainkan penajaman daya-daya intuisi dan emosi. (J Spenser Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford UP, London, 1973). Hal 3
AL Ghazali adalah seroang pemikir Islam yang hidup antara tahun 1058 – 111 M, ketka suasana pemikiran di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman yang tiggi. Bahwa pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan.
Al Ghazali menyatakan. Bahwa pengetahuan akan hakikat diri, melahirkan pengetahuan akan diri apa adanya, pengatahuan akan asal-usulnya dan sebab keberadaan serta pengetahuan akan jalan-jalan yang membawa kebahagiaan dan kesengsaraan (Al Ghazali, Kimiya, ‘al Sa’adat)
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas essensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya. Hal 49. Dalam hal ini, esensi sangat berbeda dengan eksistensi. Dan kelihatannya esensi lebih penting daripada eksistensi.
Di dalam buku filsafatnya, al ghazali menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al nafs (jiwanya). Yang dimaksud dengan al nafs adalah substansi yang beridiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan “tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al ma’qulat) berasal dari ‘ alam al malakut atau alam al amr. (Al ghazali Ma’arij Al quds). Hal. 51.
PErsoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya, “ apabila al nafs tidak ada. Sebab, “seluruh ajaran-ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (maqjud) yang dapat memahaminya.” Yang mempunyai kemampuan memahami bukanlah fisik manusia; sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-objek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami.
Pengetahuan intelektual bersifat immateri dan tidak terbagi-bagi. Al nafs yang menjadi tempatnya itupun semestinya bersifat immateri dan tidak terbagi-bagi. Pengetahuan intelektual (al ma’qul) adalah satu keutuhan yang tidak terbagi-bagi. Dengan demikian, al nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, bersifat immateri, subjek yang mengetahui dan tidak terbagi-bagi. Hal. 53
JIwa manusia pada setiap individu pada hakikatnya sama, tetapi berbeda dari segi hasil dialog antara jiwa dan badan (bersatu pada substansi, berbeda pada aksedens).
JIwa manusia tidak mungkin mempunyai potensi dan aktus dari dua sudut yang berlawanan; aktus kekekalan dan potensi kehancuran).
Struktur eksistensial manusia disini adalah komposisi yang memperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas. Manusia sebagai kenyataan factual terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kompoisisi yang menunjukkan keberadaannya. (hal 65)
Dalam Mi’raj al salikin, Al Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari al nafs, al ruh, dan al jism. Disini yang dimaksud dengan al ruh bukanlah al ruh dalam arti esensi manusia. Al ruh dalam hal ini erbeda dengan al nafs. Untuk dapat melihat perbedaan antara ketiga unsure pembentuk komposisi manusia itu, al ghazalli menjelaskan arti masing-masing. Al nafs adalah substansi yang berdiri sendiri , tidak bertempat. Al ruh adalah panas alami (al hararat al ghariziyyaT0 yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf; sedangkan al jism adalah yang tersusun dari unsure-unsur materi. Al jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsure-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai sifat kekal. Di samping itu al jism tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda thabi’I (prinsip alami) yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al jism tanpa al ruh dan al nafs adalah benda mati.
Dengan mneyebut al aql (esensi manusia) sebagai al nafs al nathiqat, maka berdasarkan tingkatan daya-dayanya pada diri manusia terdapat tiga jiwa( al nufus al salasat), yaitu jiawa vegetative, jiwa sensitive, dan jiwa rasional. Daya penggerak (al muharrikat) dan daya persepsi (al mudrikat) terdapat pada jiwa sensitive. Al muharrikat terdiri atas daya pendorong (ba’isat) dan daya berbuat(fa’ilat). Hubungan antara yang pertama dan yang kedua seperti hubungan antara potensi dan aktus, tetapi, keduanya adalah potensi sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu, al ghazali menyebut yang pertama iradat dan yang kedua qudrat.
Aktualitas kemauan ditentukan bentuknya, positif atau negative, oleh salah satu dari dua prinsip yang inheren di dalam iradat (kemauan), yaitu kecenderungan positif terhadap yang menguntungkan (jadzb al naf) dan kecenderungan negative terhadap yang merugikan(daf al dhurr), yang pertama dinamakan al syahwat (appetite, nafsu) dan yang kedua dinamakan juga al ghadhab(amarah).
Daya tertinggi dan terakhir dalam proses pengolahan informasi pada saya tangkap dari dalam adalah al mutakhayyilat, yang juga disebut al mufakkirat yang berfungsi menghubung-hubungkan dan memisah-misahkan gambar-gambar yang telah ditangkap sebelumnya. Seluruh daya tangkap dari dalam ini menggunakan otak sebgai alat.
Daya ini belum merupakan daya-daya yang khas manusiawi. Pada tahap ini, manusia dianggap sama dengan hewan-hewan lainnya. Jiwa sensitive dianggap sebagai nilai lebih yang dimiliki jenis hewan terhadap jenis tumbuh-tumbuhan sebagaimana jiwa vegetative dianggap sebagai nilai lebih jenis tumbuh-tumbuhan terhadap benda-benda mati. Hal 69
Keterbukaan al mutakhayyilat kepada jiwa rasional sudah jelas merupakan kekhususan manusia.
Al ghazali menekankan pentingnya arti akal praktis ini bagi manusia, khususnya bagi kreatifitas dan akhlak. Akal praktis mesti dapat menuasai seluruh daya-daya jiwa yang di bawahnya untuk mencapai akhklak yang mulia. Artinya terwujudnya tingkah laku yang baik tergantung kepada kekuatan akal praktis menguasai daya-daya jiwa tersebut. Yang menyebabkan timbulnya pengetahuan modal adalah hubungan akal praktis dengan akal teoritis, seperti pengetahuan bahwa dusta adalah buruj dan bahwa adil itu adalah baik. Akal praktis degan demikian, adalah untuk menyempurnakan badan sesuai dengan tuntutan pengetahuan manusia. Hal 72
Kegiatan berfikir, menurutnya, bukan kegiatan akal murni. Dalam berfikir, akal menggunakan daya al mutakhayyilat (al mufakkirat) yang ada pada jiwa sensitive yang bertempat di otak untuk memperoleh al had al awsath (term tengah). Hubungan akal dengan al mutakhayyilat dalam hal ini menurutunya adalah bahwa al mutakhayyilat berfungsi menyusun dan memisah informasi yang diterimanya dan akal menangkap kesimpulan-kesimpulannya. Berfikir adalah kegiatan akal bersama al mutakhayyilat. Hal 73
Diringkas dari buku "Manusia Menurut Al Ghazali" , Muhammad Yasir Nasution, 1988
Komentar
Posting Komentar