Prinsip Keadilan Transaksi Syariah
Yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam transaksi syariah adalah sebagaimana dijelaskan pada KDPPLKS yang diterbitkan oleh IAI. “Prinsip keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya,(IAI, 2007, KDPPLKS par 17). Di mana implementasi keadilan dalam kegiatan bisnis yakni berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, kezaliman, maysir, gharar, dan unsur haram(baik dalam bentuk barang maupun jasa).
a. Riba
Esensi riba menurut IAI (2007), merupakan setiap tambahan pada jumlah piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam uang serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, seperti murabahah tangguh; dan setiap tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi pertukaran antar barang-barang ribawi termasuk pertukaran uang (money exchange) yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tunai.
“Riba secara bahasa berarti tambahan, (Zuhaili, 2011, hlm. 306). Al Munir(1947) yang dikutip As Sa’adi(2008) mendefinisikan riba sebagai kelebihan dan tambahan. Al Halaby(1955) yang dikutip As Sa’adi(2008) mengatakan riba adalah suatu akad untuk mengganti barang yang sudah ditentukan tanpa diketahui sesuatu yang menyamainya dalam pandangan syara’, baik saat melakukan akad maupun dengan diakhirkan keduanya atau salah satunya.
Dalam pengertian lain, Saeed (1996) yang dikutip Antonio(2001) secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar. Antonio(2001) mendefinisikan riba sebagai pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ibnu AL arabi Al Maliki yang dikutip Antonio(2001) dalam kitab Ahkan Al Qur’an menjelaskan bahwa riba secara bahasa adalah tambahan. Yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Di antara kaum muslimin, terutama para ahli fiqh, tidak ada perbedaan dalam konteks haramnya riba. Sebab Allah SWT dalam Al qur’an Surat Al Baqarah ayat 275 secara jelas pengharaman terhadap riba.
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..”
Dalam ayat lainnya juga diterangkan haramnya riba. Ayat ini merupakan ayat terakhir dalam tahapan pengharaman riba.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba(yang belum dipungut).”(Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 278)
Dalam hadits Rasulullah saw dijelaskan tentang haramnya riba sebagaimana dalam hadits berikut:
Diriwayatkan oleh Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda,”Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan(cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah(hadits riwayat Muslim no. 2971, yang dikutip Antonio, 2001, hlm.53)
Berdasarkan ayat al Qur’an maupun hadits yang menyatakan keharaman riba, Antonio (2001) menyatakan bahwa para ahli fiqh telah membahas masalah riba dan ditentukan jenis-jenis barang ribawi. Barang ribawi tersebut meliputi, emas dan perak(dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya), bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung. Serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Antonio (2001) mengelompokkan riba menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah riba utang-piutang dan kelompok kedua riba jual beli. Hal ini pun dipertegas juga oleh Zuhaili (2011) bahwa riba dibagi menjadi dua kelompok. Yakni riba fadhl dan riba nasi’ah sebagai riba dalam jual-beli, sedangkan riba qardh dan riba jahiliyyah sebagai riba dalam utang-piutang.
Riba fadhl menurut Ibnu Qayyim yang dikutip Zuhaili (2011), yang merupakan riba dalam jual-beli, merupakan tambahan pada harta dalam akad jual-beli sesuai ukuran syariat (yaitu takaran atauu timbangan) jika barang yang ditukar sama. “Dapat juga riba fadhl didefinisikan sebagai jual beli barang ribawi serupa dengan tambahan pada salah satunya, (Zuhaili, 2011, hlm. 309).
Riba Fadhl merupakan “pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi,”(Antonio, 2001, hlm.41). Harta yang mengandung riba fadhl disebutkan dalam hadits.
Dari Ubadah bin Shamait berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu- dengan terigu, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai. (Hadits Riwayat Muslim)
Riba Nasi’ah adalah “Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya,”(Antonio, 2001, hlm.41). Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau suatu penambahan antara yang diserahkan sekarang dan yang diserahkan waktu kemudian. Zuhaili (2011) menambahkan bahwa menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah didefinisikan sebagai penambahan waktu penyerahan barang, dan penambahan barang pada utang dalam penukaran dua barang berbeda jenis yng ditakar atau ditimbang, atau dua barang sejenis meskipun bukan barang yang ditakar dengan jenis yang sama, atau dengan jenis yang lain dengan tambahan sebagai kompensasi dari penangguhan penyerahan.
Riba Qardh adalah “suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disayaratkan terhadap yang berutang,”(Antonio, 2001, hlm.41). Riba Jahiliyah adalah “Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan,”(Antonio, 2001, hlm.41).
Mazhab Hanafi dan Hambali yang dikutip Santoso (2003) berpendapat bahwa terjadinya riba pada enam jenis barang yang disebutkan hadits dan segala macam yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau bukan, harga atau bukan. Riba terjadi pada barang-barang yang dapat ditimbang dan ditakar. Santoso (2003) mengemukakan bahwa pendapat ini sulit untuk diterapkan.
Dalam pendapat yang lain, mazhab Syafii yang juga dikutip Santoso (2003) bahwa illat pada keempat harta riba adalah makanan, sedangkan pada kedua harta adalah terbatas pada emas dan perak saja. Sehingga harta atau alat tukar yang bukan dari emas tidak termasuk harta riba.
b. Keazaliman
Menurut IAI (2007) mengenai esensi kezaliman (dzulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, memberikan sesuatu yang tidak sesuai dengan ukuran, kualitas dan temponya. Mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai dengan posisinya.
c. Judi dan Spekulatif (maysir)
Yang dimaksud dengan judi dan spekulatif dalam transaksi syariah adalah setiap transaksi yang bersifat spekulatif dan tidak berkaitan dengan produktifitas serta perjudian atau gambling.
d. Ketidakjelasan (gharar)
IAI (2007) mendefinisikan esensi ketidakjelasan (gharar) dalam transaksi syariah adalah setiap transaksi yang berpotensi merugikan salah satu pihak karena mengandung unsure ketidakjelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan akad. IAI merinci bentuk-bentuk gharar sebagai berikut :
1. Tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada.
2. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual.
3. Tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas barang atau jasa.
4. Tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat pembayaran.
5. Tidak adanya ketegasan jenis dan obyek akad.
6. Kondisi obyek akad dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi.
7. Adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan.
Santoso (2003) mengistilahkan gharar yakni yang pada sesuatu yang hasilnya tidak jelas, dapat atau tidak dapat. Ibnu Abidin yang dikutip Santoso (2003) menyatakan gharar adalah syak atau keraguan pada apakah komoditi tersebut ada atau tidak ada. Gharar khusus pada komoditi yang tidak diketahui spesifikasinya. Kedua pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama.
e. Unsur Haram
IAI (2007) menjelaskan bahwa esensi haram adalah segala unsur yang dilarang secara tegas dalam al Qur’an dan As Sunnah.