Pemimpin Itu Penuntun
Begitu rindu di dalam hati, kepada sang pemimpin yang begitu lembut, seteguh Abu Bakar Ash Shidiq.
Jika mengharuskan untuk keras, tetap sepengasih Umar bin Khattab. Yang memiliki rasa malu, sepemurah ‘Utsman.
Jika periang, sepemberani Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan pada hari ini, budaya kerja di negeri kita telah lama sakitnya, jiwa-jiwa yang terganggu oleh sikap pemimpin semakin bertambah jumlahnya, rasanya kita memerlukan nasihat dari keempat sahabat tersebut.
Dan kali ini perkenankanlah diri kita tercenung kembali pada nasihat Imam Ali R.A :
“Jangan sekali-kali merasa bangga akan dirimu sendiri atau merasa yakin akan apa saja yang kaubanggakan tentang dirimu. Jangan menjadikan dirimu sebagai penggemar puji-pujian yang berlebihan. Yang demikian itu merupakan kesempatan terbaik bagi setan untuk menhancur-luluhkan hasil kebajikan orang-orang yang berbuat baik”
Kita sekarang ini sedang mengalami krisis iman, tauhid atau aqidah. Sebagian besar orang tidak lagi bergantung pada Allah SWT, dan tidak lagi bertawakal kepadaNya. Nyatanya, kebanyakan bertawakkal kepada jabatannya, bertawakkal kepada bisnisnya, bertawakal kepada ilmunya yg terbatas, bertawakal kepada anak dan keturunannya, bertawakal kepada masa depannya yg dengan sombongnya ia merasa yakin akan kesuksesannya. Kita semua lupa bahwa yang mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia ini, yang mengatur semesta alam ini, adalah Allah SWT.
Oleh karena krisis iman seperti itulah, selain setiap diri memperbaiki dirinya menuju pribadi yang bertauhid, yang dirinya hanya menjadikan Allah SWT semata-mata tempat menggantungkan harapan, hadirnya pemimpin yg menjadi penuntun bagi kita semua dan masyarakat akan lebih memasyarakatkan nilai-nilai untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan berketuhanan sebagaimana Pancasila, UUD 1945 menjadi dasar bernegara kita.
Maka dengan demikian, hadirnya pemimpin yang diharapkan itu, hendaklak menjadikan Rasulullah saw sebagai tauladan, dimana sifat-sifatnya, terejawantah dalam kepribadiannya. Baik ia sebagai seorang pribadi dan juga ketika ia sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian, syarat seorang pemimpin untuk dapat menjadi penuntun bagi masyarakatnya, paling tidak karakter dasar kepribadiannya sebagaimana sifat Rasulullah saw berikut :
Pertama, Shidiq (kejujuran). Jujur itu mencakup 3 hal, Pertama, shidqun niyyah (jujur niat). Hatinya jujur, Kalau sudah ada keujuran ini maka akan muncul ikhlas. Kedua, Shidqul kalaam (jujur dalam berbicara). Tidak akan berbicara kecuali yang benar, bahkan dalam bergurau sekalipun. Dilihat orang atau tidak, sikap jujur tetap ditanamkan, karena dimanapun dia merasa dilihat oleh Allah SWT. Kalau ini diterapkan maka akan muncul haibah (kewibawaan).
Kedua, amanah (tanggungjawab). Merasa bahwa umat ini menjadi beban bagi yang bersangkutan. Rasulullah SAW setiap shalat jamaah selalu melihat dan mengamati jamaahnya. Kalau dilihatnya ada jamaah yang tersenyum, Rasulullah ikut tersenyum, kalau ada sahabat yang memuram, Rasulullah bertanya kenapa merengut? Ada permasalahan apa? Saat itu jawabannya : “saya lapar ya Rasulullah”. Saat itu shalat nabi tidak dibuat panjang. Begitu pulang, Rasulullah menemui Aisyah isterinya : “Apakah kamu punya sesuatu hari ini? Aisyah menjawab : “saya tidak punyak apa-apa hari ini selain seteguk air ini”. Kemudian beliau menemui isterinya yang lain Hafshoh kemudian Ummu Salamah semuanya menjawab tidak punya apa-apa, karena paceklik pada waktu itu. Baru setelah itu Rasulullah menemui dan menawarkan kepada sahabatnya dan mengatakan : “ Siapa di antara kalian yang bisa menjamu tamu kita hari ini?” Dari sini tergambar bahwa terdapat kepekaan pada diri Rasulullah SAW, merasa bertanggungjawab atas umatnya. Inilah amanah Rasulullah SAW. Amanah dalam memikil bangsa dan negerinya pada waktu itu, amanah terhadap aqidah dan akhlak para sahabatnya dll.
Ketiga, Fathonah (kecerdasan). Seorang pemimpin harus cerdas, baik secara intelektual, emosional dan spiritual. Sebagaimana Rasulullah SAW juga cerdas ketiganya. Untuk menjadi penuntun bagi masyarakatnya, kecerdasan mutlak diperlukan. Oleh karena ia akan menjadi tempat bagi semua orang untuk ditanyakan terkait permasalahan-permasalahan.
Keempat, tabligh. Menyampaikan. Tidak lain adalah menyampaikan kebaikan dan mencegah dari keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Atas dasar sifat ini, sosok seorang pemipin yg ulama atau umaro yang ulama adalah keniscayaan. Menjadi Imam shalat bagi jamaahnya yang tidak lain adalah masyarakatnya, menjadi khatib dalam kesempatan-kesempatan khutbah untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi untuk menjernihkan hati yang sempit dari kecintaan terhadap dunia yang jelas kefanaannya.
Begitulah kurang lebih sosok pemimpin yang dirindukan, yang benar-benar menjadi pemimpin yang akan menuntun masyarakat kepada peradaban masyarakat yang beradab dan berketuhanan.
Sungguh kita semua adalah buronan maut. Bila kita berdiam diri niscaya ia akan menangkap, dan bila kita menjauh, niscaya ia akan menggapai. Ia mengikuti begitu dekat. Dan kita akan bersama dengan orang-orang yang kita cintai di akhirat kelak. Semoga kecintaan diri kepada Rasulullah saw, kepada para sahabat, kepada para ulama, kepada para pemimpin yang amanah dan shalih, kepada orang tua, kepada istri yang shalihah, kepada anak yang soleh dan kepada seluruh orang-orang yang beriman, mampu menghantarkan diri untuk berkumpul kembali di syurganya Allah SWT, amiin.