Akhlak Umar Bin Khattab Terhadap Harta
Berikut akan saya kutip beberapa akhlak Umar bin Khattab dalam memandang harta dan sikap-sikap terhadapnya.
Terhadap Harta Rampasan Perang
Umar bin Khattab terkenal sebagai seorang yang zahid yang paling keras untuk menjauhi harta. Jikalau Rasulullah saw memberikan kepada Umar harta hasil rampasan perang yang telah diperoleh Pasukan muslimin, Umar berkata,” Berikan kepada yang lebih miskin dari saya.” Namun Nabi berkata kepada umar,”Terimalah dan simpan kemudian sedekahkan.”
Begitu kuat zuhudnya, saat itu Umar bin Khattab mendapat bagian tanah di Khaibar, kemudian Umar pergi menemui Rasulullah saw, dan berkata kepada Nabi, “ Saya mendapat bagian tanah di Khaibar, yang sebenarnya belum pernah saya mendapat harta begitu berharga, tetapi apa yang harus saya perbuat dengan itu. “ Nabi berkata,”Kalau Anda mau pokoknya wakafkan dan sedekahkan dengan itu.” Maka oleh Umar, tanah itu disedekahkan kepada fakir miskin, kaum kerabat, membebaskan hamba sahaya, fi sabilillah dan kepada tamu. Diperkenankan juga orang untuk mengurusinya dan menikmati dengan sepantasnya atau memberikan kepada teman yang tidak ikut memilikinya. Umar berkata,” Yang tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan pokoknya.” Inilah sedekah pertama kali dalam Islam, dan inilah pokok pertama kali yang menjadi wakaf pertama di kalangan kaum muslimin.
Saat itu, selepas penaklukan Jalula dan Hulwan, yang saat itu dalam kekuasaan Persia, Sa’d bin abi Waqqas sebagai pemimpin pasukan mengirimkan harta rampasan perang ke Madinah bersama rombongan yang diantaranya adalah Ziyad bin Abi Sufyan. Setelah beberapa pemuka member isyarat agar Umar segera menyimpan harta rampasan perang itu di Baitul Maal, maka Umar berkata,”Sebelum malam tiba barang-barang ini sudah akan saya bagikan.” Barang-barang rampasan perang itu diletakkan di ruangan masjid dengan dijaga oleh Abdurrahman bin auf dan Abdullah bin Arqam. Esoknya, selepas Umar mengimami solat subuh dan matahari sudah mulai terbit, ia meminta barang-barang rampasan perang itu diperlihatkan. Namun setelah Umar melihat segala macam yakut, zamrud, berlian, emas dan perak, Umar menangis. Abdurrahman bin auf bertanya,” apa yang membuat Anda menangis Amirul Mukminin? Sungguh semua ini harus kita syukuri.” Umar menjawab,” Bukan ini yang membuat saya menangis. Demi Allah, jika Allah memberikan yang semacam ini kepada suatu bangsa, pasti mereka akan saling mendengki, saling membenci. Dan bila suatu bangsa sudah saling mendengki, permusuhan antara mereka akan berlarut-larut.”
Dalam kisah yang lain, yakni saat diperolehnya rampasan perang yang sangat banyak setelah menaklukkan jantung kekuasaan Persia, istananya, di Mada’in. Setelah seperlima harta rampasan perang dikirim kepada Umar di Madinah, ia begitu terkejut dengan begitu banyaknya rampasan perang itu. Ia menoleh kepada kepada orang-orang di sekitarnya seraya berkata,” Mereka orang-orang yang dapat dipercaya yang telah melaksanakan semua ini.” Ali bin Abi Thalib yang juga hadir pada saat itu menjawab,” Anda hidup sangat sederhana dengan menahan diri dari segala yang Anda rasa tidak baik, sehingga rakyat Anda juga begitu. Kalau saja aAnda mau menyenangkan diri tentu mereka juga akan demikian.” Melihat harta-harta tersebut yang begitu banyaknya Umar lekas menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Allah SWT,” Allahumma ya Allah, Engkau telah menghindarkan semua ini dari Rasul-Mu dan Nabi-Mu, padahal dia lebih Kau cintai daripada aku, lebih Kau muliakan daripada aku, juga Engkau telah menghindarkannya dari Abu Bakar, yang lebih Kau cintai daripada aku, lebih Kau muliakan daripada aku. Maka jika semua ini akan Kau berikan kepadaku, aku berlindung kepada-Mu ya Allah, juga jangan sampai Kau berikan kepadaku untuk memuliakan aku.”
Pada akhir tahun 17 H, bencana kelaparan menimpa negeri-negeri di Arab. Dari ujung selatan hingga ujung utara, yang berlangsung selama Sembilan bulan. Telah rusak usaha pertanian dan peternakan, hingga penduduk mengalami beban hidup yang sangat berat. Setelah kelaparan saat-saat pada puncaknya, Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia mengajak seorang badui untuk memakan roti itu bersama. Tiap kali menyuap roti, badui itu selalu menyuap yang diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya. Umar bertanya,”Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?” “Ya,”jawab orang badui itu. Saat itu umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Sumpahnya itu ia tepati hingga masa paceklik berakhir. Dimana selama masa itu, Umar bin Khattab yang warna kulitnya putih kemerahan, pada masa kelaparan itu orang-orang sudah melihatnya sudah berubah menjadi hitam. Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan, sehingga banyak orang yang mengatakan setelah melihat apa yang menimpanya itu : Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun abu ini kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin.
Meski menjadi seorang Khalifah, Umar bin Khattab tetap menjadi Umar yang sederhana, memandang bahwa dunia begitu remeh dan hal itu sudah menjadi tuntutan imannya. Suatu hari Umar pernah ditanya, dari harta Allah apa yang dibolehkan untuk dia, Umar menjawab,” Jawaban saya kepada kalian; Yang dianggap boleh dari harta itu buat saya dua pasang pakaian; sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas; itu yang saya pakai untuk menunaikan haji lalu dibalikkan untuk umrah; yang saya makan dan dimakan keluarga, seperti yang biasa dimakan keluarga Quraisy, bukan dari yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan Muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang mereka peroleh.”
Pada akhir tahun 17 H, bencana kelaparan menimpa negeri-negeri di Arab. Dari ujung selatan hingga ujung utara, yang berlangsung selama Sembilan bulan. Telah rusak usaha pertanian dan peternakan, hingga penduduk mengalami beban hidup yang sangat berat. Setelah kelaparan saat-saat pada puncaknya, Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia mengajak seorang badui untuk memakan roti itu bersama. Tiap kali menyuap roti, badui itu selalu menyuap yang diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya. Umar bertanya,”Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?” “Ya,”jawab orang badui itu. Saat itu umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Sumpahnya itu ia tepati hingga masa paceklik berakhir. Dimana selama masa itu, Umar bin Khattab yang warna kulitnya putih kemerahan, pada masa kelaparan itu orang-orang sudah melihatnya sudah berubah menjadi hitam. Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan, sehingga banyak orang yang mengatakan setelah melihat apa yang menimpanya itu : Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun abu ini kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin.
Meski menjadi seorang Khalifah, Umar bin Khattab tetap menjadi Umar yang sederhana, memandang bahwa dunia begitu remeh dan hal itu sudah menjadi tuntutan imannya. Suatu hari Umar pernah ditanya, dari harta Allah apa yang dibolehkan untuk dia, Umar menjawab,” Jawaban saya kepada kalian; Yang dianggap boleh dari harta itu buat saya dua pasang pakaian; sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas; itu yang saya pakai untuk menunaikan haji lalu dibalikkan untuk umrah; yang saya makan dan dimakan keluarga, seperti yang biasa dimakan keluarga Quraisy, bukan dari yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan Muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang mereka peroleh.”
Pustaka : Muhammad Husein Haekal, Umar bin Khattab