Sekedar Curiga pada Penelitian Induksi

Beberapa jam saya habiskan di depan komputer untuk mengutak-atik penelitian akhir yang segera harus dirampungkan. Menambah-nambahkannya dan mengeliminir paragraf-paragraf yang tidak diperlukan. Di sela-sela jeda untuk sekedar merefresh badan, saya iseng-iseng berfikir. Mengapa menjadi demikian saya menulis. Tidak seperti biasanya. Saya harus menyortir pikiran yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan ilmiah. Beragam ide yang melintas dipikran seperti harus melalui proses screening yang ketat. Satu per satu dikoreksi, baru ditulis. Heeeumh. Tidak seperti biasanya saya menulis tiap pagi hari yang hanya dalam waktu kurang lebih setengah jam,jadi satu tulisan lepas, yang memang lebih memvisualisasikan ide-ide, pikiran-pikiran saya dalam bentuk tulisan. Menulis bagi saya hanya sekedar berbagi pemahaman disamping ternyata menulis juga berpengaruh pada situasi kejiwaan yang jauh lebih stabil secara kontinu dan baik dalam mengontrol perilaku, karena disana terjadi proses berfikir yang cukup untuk kemudian melakukan suatu tindakan.
Saya jadi agak sedikit curiga dengan metode-metode ilmiah yang dipergunakan pada setiap penelitian-penelitian. Saya hanya sekedar menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya, bahwa boleh jadi memang semua ilmu pengetahuan, baik sains maupun sosial saat ini melandaskan kebenarannya pada metode-metode tersebut. Premis-premis yang telah melalui filterisasi ilmiah menjadi benar sebagai ‘teori kebenaran’ bagi ilmu pengetahuan. Proses induksi teorisasi tersebut diambil dari kenyataan-kenyataan lapangan yang diperoleh melalui observasi analitikal berbasis data statistik, uji coba dan fakta-fakta sosial (bagi ilmu sosial). Jadi saya tambah berfikir, apakah kemudian sebuah kebenaran itu muncul dari situasi yang terjadi di lingkungannya atau juga situasi sosial yang mengemuka diantaranya. Kalau demikian adanya, maka segala teori yang diambil dari proses induksi macam demikian, menjadi relative dan tidak benar seutuhnya karena akan terpengaruh perubahan lingkungan dan perubahan situasi sosial. Sebab yang terjadi pada lingkungan saat ini, dan yang terjadi pada kondisi atau keadaan saat ini semua bersifat relative, masing-masing sudut pandang menjadi benar karena saling menafikan satu dengan lain. Jika dalam kurun waktu tertentu, diadakan penelitian yang sama, boleh jadi menjadi berbeda hasil analisisnya dan dengan demikian berubah pula teori sebagai konklusi penelitian tersebut.
Pada teori terciptanya jagat raya saja misalnya, beragam teori muncul karena masing-masing memiliki data dan fakta-fakta fenomena alam sebagai sudut pandangnya yang juga menyebabkan masing-masing sudut pandang tersebut memberikan konklusi yang berbeda satu sama lain. Apakah demikian bagi teori yang utuh yang layak diterima, jika dalam periode yang berbeda saja sangat mudah untuk ditinjau kembali kebenarannya? Lebih-lebih hanya diterima di kalangan tertentu, pada waktu tertentu dan ruang tertentu.
Kecurigaan saya membesar karena saya menganggap bahwa sains dan ilmu pengetahuan sosial saat ini tidak dibangun dari derivasi deduktif suatu falsafah yang absolute. Bahwa sains adalah salah satu proyek yang juga akan disekularisasi dari ‘dogma agama’ yang merupakan wahyu tuhan. Karena sebagian besar ilmuwan itu sendiri juga mensekularisasi dirinya dari dogma agama. Melokalisasi ‘ibadah’ bagi dirinya hanya pada waktu-waktu dan tempat tertentu. Tidak ada istilah integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam kamus berfikir mereka. Sehingga, produk sekuler ini, yakni juga kecurigaan saya pada metode ilmiah, adalah alternative jalan bagi ilmuwan untuk membenarkan secara kolektif suatu teori tertentu sebagai hasil penelitian dan uji coba. Ditambah dengan asumsi-asumsi dalam penelitian yang saya juga menjadi curiga dengannya. Dalam penentuan jumlah sampel misalnya, bagi saya kebenaran tetaplah kebenaran meski sedikit. Ia tidak didasarkan pada banyaknya jumlah sampel itu sendiri. Bahwa semakin banyak sampel yang digunakan, maka data semakin mendukung suatu kebenaran hasil induksinya. Jelas kecurigaan saya, bahwa pandangan utilitarian selalu menilai kebenaran itu pada sensasi-sensasi kesenangan, besarnya ukuran, jumlah yang banyak, dan tidak merugikan pada semua hal. Itulah indicator kebenaran bagi utilitarian. Bagi saya kebenaran tetaplah kebenaran. Meski sedikit, kecil, dan tidak menyenangkan. Saya memang lebih sepakat dengan proses deduksi dalam penelitian, dimana suatu teori adalah derivasi dari falsafah absolute yang secara substansial tidak berubah meski terjadi perubahan situasi dan kondisi karena perubahan ruang dan waktu. Mark Blaug (1998) mengatakan, the fact that many people do thing does not make it right. Suatu kenyataan bahwa banyak orang melakukan sesuatu tidaklah serta merta menjadikannya benar.
Tapi di penghujug proses berfikir saya, bukan berarti berhenti mempelajarinya. Tapi sebagaimana jika saya mempelajari suatu pemahaman yg jelas-jelas salah, saya mempelajarinya hanya untuk semakin mengetahui ruang-ruang kesalahan yang ada didalamnya. Jika hal itu menjadi suatu keharusan untuk saya benci, maka semakin bencilah saya. Berusaha agar debunya pun jangan sampai menyapu pemahaman saya yang benar yang sudah saya lakukan selama ini. seperti mempelajari riba misalnya, maka saya mempelajarinya demi terhindar sejauh-jauhnya dari apa yang tergolong riba. Begitu. Karena saya sedang penelitian sebagai tugas akhir, say abaca sajalah, tidak mengapa, lagipula proses penelitian induksi tidak saya pakai. Ga jelas deh.
Saya jadi agak sedikit curiga dengan metode-metode ilmiah yang dipergunakan pada setiap penelitian-penelitian. Saya hanya sekedar menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya, bahwa boleh jadi memang semua ilmu pengetahuan, baik sains maupun sosial saat ini melandaskan kebenarannya pada metode-metode tersebut. Premis-premis yang telah melalui filterisasi ilmiah menjadi benar sebagai ‘teori kebenaran’ bagi ilmu pengetahuan. Proses induksi teorisasi tersebut diambil dari kenyataan-kenyataan lapangan yang diperoleh melalui observasi analitikal berbasis data statistik, uji coba dan fakta-fakta sosial (bagi ilmu sosial). Jadi saya tambah berfikir, apakah kemudian sebuah kebenaran itu muncul dari situasi yang terjadi di lingkungannya atau juga situasi sosial yang mengemuka diantaranya. Kalau demikian adanya, maka segala teori yang diambil dari proses induksi macam demikian, menjadi relative dan tidak benar seutuhnya karena akan terpengaruh perubahan lingkungan dan perubahan situasi sosial. Sebab yang terjadi pada lingkungan saat ini, dan yang terjadi pada kondisi atau keadaan saat ini semua bersifat relative, masing-masing sudut pandang menjadi benar karena saling menafikan satu dengan lain. Jika dalam kurun waktu tertentu, diadakan penelitian yang sama, boleh jadi menjadi berbeda hasil analisisnya dan dengan demikian berubah pula teori sebagai konklusi penelitian tersebut.
Pada teori terciptanya jagat raya saja misalnya, beragam teori muncul karena masing-masing memiliki data dan fakta-fakta fenomena alam sebagai sudut pandangnya yang juga menyebabkan masing-masing sudut pandang tersebut memberikan konklusi yang berbeda satu sama lain. Apakah demikian bagi teori yang utuh yang layak diterima, jika dalam periode yang berbeda saja sangat mudah untuk ditinjau kembali kebenarannya? Lebih-lebih hanya diterima di kalangan tertentu, pada waktu tertentu dan ruang tertentu.
Kecurigaan saya membesar karena saya menganggap bahwa sains dan ilmu pengetahuan sosial saat ini tidak dibangun dari derivasi deduktif suatu falsafah yang absolute. Bahwa sains adalah salah satu proyek yang juga akan disekularisasi dari ‘dogma agama’ yang merupakan wahyu tuhan. Karena sebagian besar ilmuwan itu sendiri juga mensekularisasi dirinya dari dogma agama. Melokalisasi ‘ibadah’ bagi dirinya hanya pada waktu-waktu dan tempat tertentu. Tidak ada istilah integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam kamus berfikir mereka. Sehingga, produk sekuler ini, yakni juga kecurigaan saya pada metode ilmiah, adalah alternative jalan bagi ilmuwan untuk membenarkan secara kolektif suatu teori tertentu sebagai hasil penelitian dan uji coba. Ditambah dengan asumsi-asumsi dalam penelitian yang saya juga menjadi curiga dengannya. Dalam penentuan jumlah sampel misalnya, bagi saya kebenaran tetaplah kebenaran meski sedikit. Ia tidak didasarkan pada banyaknya jumlah sampel itu sendiri. Bahwa semakin banyak sampel yang digunakan, maka data semakin mendukung suatu kebenaran hasil induksinya. Jelas kecurigaan saya, bahwa pandangan utilitarian selalu menilai kebenaran itu pada sensasi-sensasi kesenangan, besarnya ukuran, jumlah yang banyak, dan tidak merugikan pada semua hal. Itulah indicator kebenaran bagi utilitarian. Bagi saya kebenaran tetaplah kebenaran. Meski sedikit, kecil, dan tidak menyenangkan. Saya memang lebih sepakat dengan proses deduksi dalam penelitian, dimana suatu teori adalah derivasi dari falsafah absolute yang secara substansial tidak berubah meski terjadi perubahan situasi dan kondisi karena perubahan ruang dan waktu. Mark Blaug (1998) mengatakan, the fact that many people do thing does not make it right. Suatu kenyataan bahwa banyak orang melakukan sesuatu tidaklah serta merta menjadikannya benar.
Tapi di penghujug proses berfikir saya, bukan berarti berhenti mempelajarinya. Tapi sebagaimana jika saya mempelajari suatu pemahaman yg jelas-jelas salah, saya mempelajarinya hanya untuk semakin mengetahui ruang-ruang kesalahan yang ada didalamnya. Jika hal itu menjadi suatu keharusan untuk saya benci, maka semakin bencilah saya. Berusaha agar debunya pun jangan sampai menyapu pemahaman saya yang benar yang sudah saya lakukan selama ini. seperti mempelajari riba misalnya, maka saya mempelajarinya demi terhindar sejauh-jauhnya dari apa yang tergolong riba. Begitu. Karena saya sedang penelitian sebagai tugas akhir, say abaca sajalah, tidak mengapa, lagipula proses penelitian induksi tidak saya pakai. Ga jelas deh.
Komentar
Posting Komentar