Harmonisasi Internal Audit- Shariah Review


Review Kritis Atas Paper
Degree of Independence of Sharia Supervisory Board in Indonesia ;Student Perspective
by Dodik Siswanto and Akhmad Syakhroza

Dalam paper yang ditulis oleh Dodik Siswanto bersama Akhmad Syakhroza yang berjudul Degree of Independence of Shariah Supervisory Board in Indonesia ; Students Perspective inti gagasannya ialah mencoba mengukur tingkat independensi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat pada lembaga keuangan syariah atau dalam arti luas entitas syariah (perbankan dan non-perbankan). Hal tersebut menjadi bahan kajian dikarenakan Dewan Pengawas Syariah (Shariah Supervisory Board) yang menjadi representative dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) di lembaga keuangan syariah untuk mengawasi keseluruhan operasional lembaga keuangan syariah agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dalam bermuamalah.

Dalam paper tersebut dilakukan survey, dimana mahasiswa sebagai responden dalam mengukur tingkat independensi Dewan Pengawas Syariah di Indonesia. Dan hasil surbey tersebut disimpulkan oleh penulis (Dodik Siswanto dan Akhmad Syakhroza) menjadi beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut :

1. Memiliki full time staff

Mengingat masih terbatasnya ahli ekonomi islam (khususnya lembaga keuangan syariah) atau jumlah cendikiawan muslim yang memahami praktek bisnis pada saat yang bersmaan, maka dalam paper ini direkomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang hanya mengawasi tiap tempo tertentu (tidak full time) untuk memiliki staff yang mewakili secara penuh dalam pengawasan kepatuhan syariah (shariah compliance) terhadap operasional lembaga keuangan syariah.

2. Memiliki semacam direktorat tersendiri yang serupa dengan komite audit.

Wacana dibentuknya semacam direktorat yang setara dengan komite audit di dalam struktur organisasi lembaga keuangan syariah. Dengan adanya komite audit syariah maka pengawasan akan lebih bersifat mengikat pada setiap fatwa yang dikeluarkan Dewan Pengawas Syariah terhadap operasional lembaga keuangan syariah.

3. Memiliki pemahaman islam dan latar pendidikan yang relevan (ekonomi,manajemen, akuntansi)

Dewan pengawas syariah harus memiliki kualifikasi yang transendental, dimana selain memahami prinsip-prinsip Islam dalam bermuamalah tetapi juga harus memahami bidang ilmu ekonomi, manajemen, akuntansi dan sebagainya untuk mengidentifikasi transaksi-transaksi kontemporer saat ini.

4. Dirotasi, paling lama tiap 3 tahun

Dalam menjaga tingkat independensi, dalam paper ini mengusulkan dilakukannya rotasi Dewan Pengawas Syariah antar lembaga keuangan agar opini syariah yang dikeluarkan tetap terjaga objektifitasnya. Dan perotasian ini dilakukan maksimal setelah 3 tahun masa jabatan di satu lembaga keuangan syariah tertentu. Tentunya hal ini menjadi kebijakan DSN-MUI untuk melakukannya.
5. Tidak bekerja untuk perusahaan konsultan
Agar objektifitas opini dan independensi Dewan Pengawas Syariah tetap terjaga, maka diharapkan DPS tidak membuka jasa layanan konsultasi bisnis untuk menghindari adanya peluang tidak independennya jasa konsultasi yang diberikan. Hal ini dikhawatirkan karena jasa tersebut pun merupakan ‘pesanan’ yang memberikan feedback secara materi (service fee).

6. Dengan demikian anggota DSN atau DPS sebaiknya tidak bekerja di perusahaan konsultan, dan sebaiknya menjadi akademisi dan peneliti, dan berpengetahuan, baik syariah maupun bisnis keuangan islam.

Harmonisasi Internal Audit-Shariah Review

Di dalam paper tersebut ada satu rekomendasi yang ditujukan kepada lembaga keuangan syariah, yaitu dibentuknya direktorat tersendiri setara dengan komite audit yang sudah ada, untuk pengawasan kepatuhan syariah yang lebih mengikat dan regulatif. Sebab struktur saat ini sebagaimana menggambarkan fungsi DPS bagi lembaga keuangan syariah, yakni sebatas fungsi konsultatif bagi Dewan Direksi (Board of Direction) dalam pengambilan keputusan mengenai transaksi syariah dalam operasional perusahaannya. Peran inilah yang dianggap masih tidak terlalu efektif dalam penerapan shariah compliance karena berkaitan dengan opini syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Pengawas Syariah. Kesesuaian opini syariah yang dikeliuarkan tiap akhir tahun kepada lembaga keuangan syariah harus mencerminkan kepatuhan syariah yang utuh pada setiap transaksi keuangan maupun pengelolaan organisasi perusahaan yang bebas dari transaksi-transaksi yang dilarang oleh syariat islam.

Namun tidak begitu saja menjadi efektif ketika dibentuk suatu direktorat pengawasan syariah atau komite audit syariah di lembaga keuangan syariah untuk meningkatkan efektifitas opini syariah terhadap kondisi operasional perusahaan yang sebenarnya. Risiko yang akan ditimbulkan dari adanya bentukan komite audit syariah ini akan terjadi dualisme pengaturan dan pengawasan operasional dalam satu perusahaan yang besar kemungkinan akan terjadi saling meniadakan (mutually exclusive) antar keduanya atau terjadi tumpang tindih pengaturan internal perusahaan yang disebabkan perbedaan pandangan terhadap operasional lembaga keuangan syariah. Hal demikian akan sangat berdampak pada tata kelola yang tidak utuh karena masing-masing komite audit memiliki pandangannya sendiri-sendiri. Meskipun secara implisit kedua komite audit ini (audit internal dan audit syariah) memiliki fungsi utama masing-masing, tetap saja akan terjadi dua opini dalam satu transaksi yang terjadi dalam lembaga keuangan syariah. Pada sisi ekstrem, manajemen akan menghadapi kebingungan dalam menentukan mana yang perlu dipatuhi dari adanya dualisme pengawasan operasional.

Maka, untuk menghindari adanya risiko dualisme opini atas pengawasan internal perusahaan (lembaga keuangan syariah), perlu adanya harmonisasi antara kedua komite tersebut. Yakni dilakukannya integrasi pengawasan terhadap operasional lembaga keuangan syariah yang hanya mengeluarkan opini tunggal dengan mengintegrasikan opini kedua komite tersebut. Dapat dibentuk komite audit internal yang di dalamnya terdapat subkomite atau sejenis biro yang terdiri dari biro audit internal dan biro pengawas syariah (shariah compliance). Dengan begitu pengawasan tidak terparsialisasi jika adanya dua komite yang mengawasi operasional perusahaan. Meski dua biro yang terpisah hubungan antar kedua biro bersifat koordinatif dan saling melengkapi (mutualism) diantara keduanya. Oleh sebab dalam jangka pendek belum memungkinkannya adanya integrasi audit syariah dengan audit internal ke dalam satu keahlian seseorang yang dengannya tidak perlu dibentuknya dua biro tersebut. Diantara sebabnya adalah karena SDM yang memiliki keahlian dalam manajemen operasional perusahaan (bisnis modern) dengan pemahaman syariah dalam bermuamalah secara sekaligus relatif tidak tersedia atau dalam jumlah yang masih sangat sedikit.

Diantara langkah-langkah lainnya adalah dengan mengintegrasikan acuan standar (standar operasional prosedur) perusahaan yang selain menstandarisasi operasional bisnis modern, standar operasional tersebut juga harus menginternalisasikan prinsip-prinsip syariah di dalamnya. Sehingga, tidak lagi adanya dualisme pengawasan dan dualisme opini yang saling bertentangan, karena hanya akan diawasi oleh satu badan yang integral dan diberikan opini yang tunggal dan bersifat mengikat bagi operasional manajemen perusahaan. Dan pada akhirnya lembaga keuangan syariah dalam hal ini dapat menyempurnakan tata kelola entitas syariahnya (Good Shariah Corporate Governance) yang merepresentasikan lembaga keuangan syariah modern.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi