Agar Akuntansi Syariah Lebih Profetik

Dalam dunia bisnis, kajian akuntansi sebagai salah satu instrumen yang menyajikan serta melaporkan kondisi ekonomi dalam bentuk satuan moneter bagi perusahaan atau entitas bisnis telah dimulai bersama adanya entitas itu sendiri. Bagaimana menyajikan dan melaporkan posisi keuangan entitas untuk kepentingan pengambilan keputusan dan sebagai pelaporan operasional entitas. Ditambah kajian – kajian dan penelitian dimotori dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Luca Pacioli , yang dianggap kini sebagai founding father ilmu akuntansi. Hal ini tidak akan menjadi pembahasan yang detail dalam pembahasan kali ini. Tetapi sejak adanya akuntansi dianggap juga sebagai suatu dispilin ilmu dalam bidang studi ekonomi, dan selebihnya dianggap sebagai teknologi yang membantu mempermudah dalam proses pencatatan, pengolongan dan pelaporan keuangan, nyatanya sarat dipengaruhi oleh situasi ekonomi, atau lebih tepatnya ‘ideologi ekonomi’ yang diterapkan masing-masing negara. Hadirnya akuntansi dalam bentuk standar akuntansi keuangan sebagai formula praktek atau aplikasi lapangan, dipengaruhi oleh prinsip – prinsip ekonomi yang dianut yang melandasi kegiatan berekonomi. Bahwa sekali lagi bentuk akuntansi sarat dipengaruhi situasi objektif (seperti lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain) yang dianut suatu negara. Sebab jika akuntansi dianggap sebagai teknologi, maka ia adalah merupakan ‘bentukan’ yang dipergunakan untuk kepentingan tujuan tertentu. Lain hal yang bersifat substansial, ia tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu, tetapi bentuk itu sendiri sangat terpengaruh oleh ruang dan waktu. Wajarlah dengan demikian, bentuk-bentuk yang terepresentasikan dalam standar akuntansi keuangan masing-masing negara menjadi beragam dan boleh jadi tidak ada persamaan baik secara bentuk maupun substansial. Oleh sebab prinsip ekonomi masing-masing negara juga berbeda.
Akuntansi dan Kapitalisme Ekonomi
Perkembangan akuntansi modern abad 21 ini, sangat erat kaitannya dengan kapitalisme. Dimana asal perkembangannya dari negara yang menganut system ekonomi kapitalisme, yakni negara-negara barat. Sebab kemajuan dan dinamisnya kegiatan ekonomi di negara-negara maju jugitulah memberikan pengaruh dalam mendinamisasi perkembangan akuntansi sebagai ilmu dengan pada saat yang sama sebagai suatu alat ekonomi. Tidak hanya dari pendekatan current system bidang ekonomi di negara maju untuk mencoba menghubungkan antara akuntansi dengan kapitalisme, tetapi pendekatan sejarah (historical approach) juga telah menunjukkan bahwa sejak kapitalisme itu berkembang, prinsip-prinsip dalam akuntansi mengalami perubahan mendasar pada prinsip-prinsipnya. Ahmde Riahi – Belakoui dalam bukunya Accounting Theory, Fourth Edition membagi masa-masa atau fase sejarah evolusi akuntansi dan perkembangannya menjadi beberapa masa, yang menunjukkan bahwa akuntansi sejak munculnya sebagai suatu ilmu dipengaruhi beragam hal, baik dispilin ilmu lain maupun pemikiran ahli atau pun profesional. Awal mulanya ialah pada 3000 sebelum masehi, yakni dipengaruhi oleh Chaldean-Babylonian, Assyirian and Sumerian, dengan lahirnya double entry system pertama kali. Kemudian, pengaruh dari kontribusi pemikiran Luca Pacioli, seorang warga negara Perancis yang memperkenalkan double entri bookkeeping, dimana pada tahun 1494 dia mempublikasikan bukunya Summa de Arithmetica Geomatria, Proportioni et Proportionalita yang include 2 chapter de Computis et Scripturis. Pasca perkembangan pemikiran Luca Pacioli, pada periode selanjutnya double entry bookkeeping lebih dikenal dengan istilah “Italian Method” di Eropa pada abad ke 16 dan 17 masehi. Masa perkembangan selanjutnya lebih banyak terjadi dan mengemuka di United States of America dimana terdapat empat fase yang mempengaruhi akuntansi sebagai alat pelaporan ekonomi, yakni pertama, pengaruh atau kontribusi manajemen pada periode 1900 sampai 1933 dimana akuntansi atau laporan keuangan berfungsi sebagai bentuk control aktivitas perusahaan. Kedua, karena adanya pembentukan Securities and Exchange Commission (SEC) yakni dibentuk oleh American Institute Accountants (AIA) dan aturan baru dari Committee on Accounting Procedures, yang terjadi pada kurun 1933 – 1959. Ketiga, fase kontribusi oleh kalangan professional pada periode 1959 - 1973 dan keempat adalah adanya pengaruh dari situasi dan kepentingan politik pada periode 1973 hingga sekarang.
Periode-periode tersebut mengindikasikan secara eksplisit bahwa ilmu akuntansi telah mengalami evolusinya tidak secara mandiri atau dengan kata lain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi ekonomi negara-negara maju, dan terutama sejak kemunculannya sudah cukup dekat kaitannya dengan kapitalisme. Hal in dipertegas oleh pernyataan Sombart yang dikutip oleh Ahmad Riahi – Belkaoui dalam bukunya Accounting Theory :
“One cannot imagine what capitalism would be without double-entry bookkeeping. The two phenomena are connected as intimately as form and content. One cannot say whether capitalism created double-entry bookkeeping as a tool in its expansion; or perhaps, conversely, double-entry bookkeeping created capitalism. “
Hubungan ini sebagaimana dipertegas oleh Sombart dalam tesisnya, bahwa akuntansi, pada prinsip-prinsipnya adalah derivasi filosofis kapitalisme itu sendiri, karena memang ditujukan untuk dan sebagai alat dalam berekonomi. Tujuannya diantaranya adalah menurut Riahi-Belkaoui;
‘the transformation of assets into abstract values and quantitive expression of the result of business activities, systematic accounting in the form of double-entry bookkeeping made it possible firstly, for the capitalistic entrepreneur to plan, condust and measure the impact of his / her activities; and secondly, for a separation of owners and the business itself, thus allowing the growth of the corporation. “
Oleh sebab kapitalisme menganggap bahwa segala sesuatunya harus bersifat material dan berhak atas keuntungan atau laba bagi yang menguasai pasar dengan modalnya, maka kepentingan itu didukung pula oleh adanya akuntansi sebagai pengambilan keputusan capitalist entrepreneur dan sebagai pemisah antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi, dalam artian perusahaan diasumsikan sebagai entitas yang berdiri sendiri dan pemilik adalah entitas yang lain, sehingga jikalau terdapat kekeliruan atau bahkan operasional perusahaan melakukan pelanggaran, pemilik hanya bertanggungjawab sebesar nilai modal yang diivestasikan di perusahaan dan tidak bertanggungjawab secara penuh.
Kritik Akuntansi Syariah; Tinjauan Maqashid Syariah
Dalam perkembangan institusi keuangan syariah di Indonesia terutama di sektor perbankan, asuransi, pegadaian, pasar modal, bursa komoditi, maupun bisnis syariah, telah menunjukkan trend pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun dan semakin diterima oleh masyarakat meski perlahan satu decade terakhir. Dengan didukung adanya 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan ratusan BPRS yang tersebar di penjuru nusantara, sebagai pilar perkembangan perbankan syariah, kemudian perusahaan-perusahaan perasuransian syariah, adanya pasar modal syariah yang direpresentasikan oleh Jakarta Islamic Index (JII), pegadaian syariah, lembaga-lembaga zakat pemerintah maupun non pemerintah dan lembaga filantropi lainnya yang mewakili lembaga sosial yang lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga telah diakomodasi sebagai instrument pembiayaan syariah dalam penerimaan negara pada APBN. Dan yang baru saja di keluarkan fatwanya oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, ialah dibolehkannya Bursa Komoditi Syariah atau sebutan lain bursa berjangka syariah. Belum lagi sektor microfinance, seperti koperasi syariah maupun Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Dalam aktivitas bisnis ekonomi lainnya juga terdapat ragam bisnis syariah yang dikembangkan oleh masyarakat yang menginginkan prinsip-prinsip syariah terinternalisasi dalam wirausaha atau bisnis mereka.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa memang awareness masyarakat terhadap aktivitas ekonomi yang tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan atau laba sebagai penambahan harta kekayaan bagi mereka tetapi juga terdapat sisi lain seperti social intermediation bagi masyarakat lain juga diperhatikan, nyatanya semakin meluas dan menjadi gerakan bersama untuk melakukan ‘penggeseran paradigma’ (shifting paradigm) lama (konvensional) menuju paradigm yang sama sekali berbeda, yang lebih humanis, menambah kepedulian sosial-lingkungan (dengan tidak merusak lingkungan dan orang lain), dan beretika. Dimana nilai-nilai tersebut menjadi pilar nilai dalam islam tentunya. Dan ini juga menunjukkaan bahwa islam itu sendiri memang merupakan risalah yang diturunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi.
Atas perkembangan ekonomi syariah sebagaimana pemaparan di atas, ilmu akuntansi yang mencoba menginternalisasikan prinsip-prinsip syariah juga telah mengikuti perkembangan tersebut dan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan ekonomi bagi entitas syariah. Dengan adanya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK Syariah) nomor 101 – 110 yang telah disusun IAI dan difatwakan DSN – MUI menunjukkan perkembangan akuntansi syariah. Namun, sampai saat ini, akuntansi syariah tidak lepas dari kritik dan kajian-kajian yang lebih filosofis agar benar-benar sesuai dengan syariat islam dan mencapai tujuan-tujuan syariah itu sendiri (maqashid syariah). Terutama kritik tertuju pada tataran prinsip dan filosofi akuntansi syariah yang memang belum well establish sebagai basis teori yang permanen bagi akuntansi syariah. Sebab, dalam praktik, relatif hanya berubah pada standar akuntansinya saja, yakni perubahan pada mekanisme pencatatan dan pelaporan. Tetapi, pada prinsip dan asumsi dasar belum tersusun secara islami.
Misalnya saja pada asumsi dasar yang menjadi konsep dasar akuntansi syariah, masih dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah dan maqashid syariah disamping memang masih dalam perdebatan (debatable) di kalangan pakar akuntansi syariah. Yakni diantaranya asumsi dasar akrual sebagai dasar pencatatan akuntansi dan asumsi kelangsungan usaha (going concern) bagi entitas yang mengeluarkan laporan keuangan. Kedua konsep dasar ini memang sama dengan konsep dasar PSAK konvensional katakanlah, yang juga terbukti memang mengadopsi dari IASC, yang sarat dengan muatan nilai-nilai kapitalisme.
Mulawarman (2006), dalam pendekatan artikulasi trilogy laporan keuangan syariah bahwa implementasi konsep matching dalam revenue, expense approach jelas berbeda dengan pendekatan ekstensi value added income sebagai dasar dari laporan keuangan nilai tambah syariah dan tidak dapat digunakan dalam konsep laporan keuangan syariah karena tidak sesuai dengan Islamic value dan maqashid syariah karena tiga alasan, pertama, pengakuan pendapatan berkaitan dengan realisasi pendapatan akan berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua, pengakuan pendapatan dalam proses pembentukan pendapatan berbasis akrual dan ditetapkannya time value of money berujung riba (interest). Ketiga, prinsip penandingan pendapatan dan biaya juga belum sesuai dengan tujuan syariah.
Pencatatan akuntansi dengan basis akrual memang mengindikasikan melekatnya prinsip nilai waktu uang (tme value of money) yang tidak sesuai dengan nilai syariah. Pengakuan secara akrual berarti menghitung nikai saat (present value) ini bagi nilai yang akan diperoleh di masa depan. Weil (1990) yang dikutip Mulawarman, menjelaskan sebenarnya akuntansi selalu menggunakan time value of money berkenaan penentuan waktu (timing ) terhadap transaksi nilai investasi serta kepastian ases yang dipengaruhi nilai uang. Hal ini jelas dilarang dalam islam, dimana memastikan kondisi yang tidak pasti di masa depan, dan mendekati riba karena ada gharar(ketidakjelasan) tersebut.
Belum lagi asumsi kelangsungan usaha (going concern) yang dalam muamalah seperti yang dinyatakan oleh Abdel Magid (1981) dan Roszaini (2001) bahwa “Mudharaba and musharaka contracts are for specific periods, however, these are assumed to continue until one or all of the parties involved decide to terminate such contracts.”. Dimana asumsi dasar kelangsungan usaha dengan likuidasi adalah persoalan pengecualian benar-benar tidak berlaku. Sebab kontinuitas usaha harus sesuai dengan kontrak bisnis atau kesepakatan atau perjanjian antara masing-masing pihak yang berbisnis.
Asumsi-asumsi dasar ini akan sangat fatal apabila tidak sesuai dengan prinsip islam dan tidak mencapai mqashid syariah, karena akan sangat mempengaruhi standar akuntansi, prosedur dan system sebagai praktik akuntansi di dunia bisnis. Pada kenyataannya memang demikian saat ini, akuntansi syariah harus lebih menambah kajiannya dan lebih mengedepankan pengkajian pada aspek teoritis agar bisa terumus falsafah akuntansi yang islami dengan berdasarkan wahyu yang diturunkan berupa Al qur’an kepada Nabi Muhammad saw berikut dengan penjelasan dalam sunnah-sunnah beliau. Agar akuntansi syariah lebih profetik dari current theory saat ini, dimana pengkajian akuntansinya mencoba membahas dengan pendekatan filosofis yang bersumber dari Al qur’an dan hadist.
Akuntansi dan Kapitalisme Ekonomi
Perkembangan akuntansi modern abad 21 ini, sangat erat kaitannya dengan kapitalisme. Dimana asal perkembangannya dari negara yang menganut system ekonomi kapitalisme, yakni negara-negara barat. Sebab kemajuan dan dinamisnya kegiatan ekonomi di negara-negara maju jugitulah memberikan pengaruh dalam mendinamisasi perkembangan akuntansi sebagai ilmu dengan pada saat yang sama sebagai suatu alat ekonomi. Tidak hanya dari pendekatan current system bidang ekonomi di negara maju untuk mencoba menghubungkan antara akuntansi dengan kapitalisme, tetapi pendekatan sejarah (historical approach) juga telah menunjukkan bahwa sejak kapitalisme itu berkembang, prinsip-prinsip dalam akuntansi mengalami perubahan mendasar pada prinsip-prinsipnya. Ahmde Riahi – Belakoui dalam bukunya Accounting Theory, Fourth Edition membagi masa-masa atau fase sejarah evolusi akuntansi dan perkembangannya menjadi beberapa masa, yang menunjukkan bahwa akuntansi sejak munculnya sebagai suatu ilmu dipengaruhi beragam hal, baik dispilin ilmu lain maupun pemikiran ahli atau pun profesional. Awal mulanya ialah pada 3000 sebelum masehi, yakni dipengaruhi oleh Chaldean-Babylonian, Assyirian and Sumerian, dengan lahirnya double entry system pertama kali. Kemudian, pengaruh dari kontribusi pemikiran Luca Pacioli, seorang warga negara Perancis yang memperkenalkan double entri bookkeeping, dimana pada tahun 1494 dia mempublikasikan bukunya Summa de Arithmetica Geomatria, Proportioni et Proportionalita yang include 2 chapter de Computis et Scripturis. Pasca perkembangan pemikiran Luca Pacioli, pada periode selanjutnya double entry bookkeeping lebih dikenal dengan istilah “Italian Method” di Eropa pada abad ke 16 dan 17 masehi. Masa perkembangan selanjutnya lebih banyak terjadi dan mengemuka di United States of America dimana terdapat empat fase yang mempengaruhi akuntansi sebagai alat pelaporan ekonomi, yakni pertama, pengaruh atau kontribusi manajemen pada periode 1900 sampai 1933 dimana akuntansi atau laporan keuangan berfungsi sebagai bentuk control aktivitas perusahaan. Kedua, karena adanya pembentukan Securities and Exchange Commission (SEC) yakni dibentuk oleh American Institute Accountants (AIA) dan aturan baru dari Committee on Accounting Procedures, yang terjadi pada kurun 1933 – 1959. Ketiga, fase kontribusi oleh kalangan professional pada periode 1959 - 1973 dan keempat adalah adanya pengaruh dari situasi dan kepentingan politik pada periode 1973 hingga sekarang.
Periode-periode tersebut mengindikasikan secara eksplisit bahwa ilmu akuntansi telah mengalami evolusinya tidak secara mandiri atau dengan kata lain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi ekonomi negara-negara maju, dan terutama sejak kemunculannya sudah cukup dekat kaitannya dengan kapitalisme. Hal in dipertegas oleh pernyataan Sombart yang dikutip oleh Ahmad Riahi – Belkaoui dalam bukunya Accounting Theory :
“One cannot imagine what capitalism would be without double-entry bookkeeping. The two phenomena are connected as intimately as form and content. One cannot say whether capitalism created double-entry bookkeeping as a tool in its expansion; or perhaps, conversely, double-entry bookkeeping created capitalism. “
Hubungan ini sebagaimana dipertegas oleh Sombart dalam tesisnya, bahwa akuntansi, pada prinsip-prinsipnya adalah derivasi filosofis kapitalisme itu sendiri, karena memang ditujukan untuk dan sebagai alat dalam berekonomi. Tujuannya diantaranya adalah menurut Riahi-Belkaoui;
‘the transformation of assets into abstract values and quantitive expression of the result of business activities, systematic accounting in the form of double-entry bookkeeping made it possible firstly, for the capitalistic entrepreneur to plan, condust and measure the impact of his / her activities; and secondly, for a separation of owners and the business itself, thus allowing the growth of the corporation. “
Oleh sebab kapitalisme menganggap bahwa segala sesuatunya harus bersifat material dan berhak atas keuntungan atau laba bagi yang menguasai pasar dengan modalnya, maka kepentingan itu didukung pula oleh adanya akuntansi sebagai pengambilan keputusan capitalist entrepreneur dan sebagai pemisah antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi, dalam artian perusahaan diasumsikan sebagai entitas yang berdiri sendiri dan pemilik adalah entitas yang lain, sehingga jikalau terdapat kekeliruan atau bahkan operasional perusahaan melakukan pelanggaran, pemilik hanya bertanggungjawab sebesar nilai modal yang diivestasikan di perusahaan dan tidak bertanggungjawab secara penuh.
Kritik Akuntansi Syariah; Tinjauan Maqashid Syariah
Dalam perkembangan institusi keuangan syariah di Indonesia terutama di sektor perbankan, asuransi, pegadaian, pasar modal, bursa komoditi, maupun bisnis syariah, telah menunjukkan trend pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun dan semakin diterima oleh masyarakat meski perlahan satu decade terakhir. Dengan didukung adanya 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan ratusan BPRS yang tersebar di penjuru nusantara, sebagai pilar perkembangan perbankan syariah, kemudian perusahaan-perusahaan perasuransian syariah, adanya pasar modal syariah yang direpresentasikan oleh Jakarta Islamic Index (JII), pegadaian syariah, lembaga-lembaga zakat pemerintah maupun non pemerintah dan lembaga filantropi lainnya yang mewakili lembaga sosial yang lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga telah diakomodasi sebagai instrument pembiayaan syariah dalam penerimaan negara pada APBN. Dan yang baru saja di keluarkan fatwanya oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, ialah dibolehkannya Bursa Komoditi Syariah atau sebutan lain bursa berjangka syariah. Belum lagi sektor microfinance, seperti koperasi syariah maupun Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Dalam aktivitas bisnis ekonomi lainnya juga terdapat ragam bisnis syariah yang dikembangkan oleh masyarakat yang menginginkan prinsip-prinsip syariah terinternalisasi dalam wirausaha atau bisnis mereka.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa memang awareness masyarakat terhadap aktivitas ekonomi yang tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan atau laba sebagai penambahan harta kekayaan bagi mereka tetapi juga terdapat sisi lain seperti social intermediation bagi masyarakat lain juga diperhatikan, nyatanya semakin meluas dan menjadi gerakan bersama untuk melakukan ‘penggeseran paradigma’ (shifting paradigm) lama (konvensional) menuju paradigm yang sama sekali berbeda, yang lebih humanis, menambah kepedulian sosial-lingkungan (dengan tidak merusak lingkungan dan orang lain), dan beretika. Dimana nilai-nilai tersebut menjadi pilar nilai dalam islam tentunya. Dan ini juga menunjukkaan bahwa islam itu sendiri memang merupakan risalah yang diturunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi.
Atas perkembangan ekonomi syariah sebagaimana pemaparan di atas, ilmu akuntansi yang mencoba menginternalisasikan prinsip-prinsip syariah juga telah mengikuti perkembangan tersebut dan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan ekonomi bagi entitas syariah. Dengan adanya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK Syariah) nomor 101 – 110 yang telah disusun IAI dan difatwakan DSN – MUI menunjukkan perkembangan akuntansi syariah. Namun, sampai saat ini, akuntansi syariah tidak lepas dari kritik dan kajian-kajian yang lebih filosofis agar benar-benar sesuai dengan syariat islam dan mencapai tujuan-tujuan syariah itu sendiri (maqashid syariah). Terutama kritik tertuju pada tataran prinsip dan filosofi akuntansi syariah yang memang belum well establish sebagai basis teori yang permanen bagi akuntansi syariah. Sebab, dalam praktik, relatif hanya berubah pada standar akuntansinya saja, yakni perubahan pada mekanisme pencatatan dan pelaporan. Tetapi, pada prinsip dan asumsi dasar belum tersusun secara islami.
Misalnya saja pada asumsi dasar yang menjadi konsep dasar akuntansi syariah, masih dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah dan maqashid syariah disamping memang masih dalam perdebatan (debatable) di kalangan pakar akuntansi syariah. Yakni diantaranya asumsi dasar akrual sebagai dasar pencatatan akuntansi dan asumsi kelangsungan usaha (going concern) bagi entitas yang mengeluarkan laporan keuangan. Kedua konsep dasar ini memang sama dengan konsep dasar PSAK konvensional katakanlah, yang juga terbukti memang mengadopsi dari IASC, yang sarat dengan muatan nilai-nilai kapitalisme.
Mulawarman (2006), dalam pendekatan artikulasi trilogy laporan keuangan syariah bahwa implementasi konsep matching dalam revenue, expense approach jelas berbeda dengan pendekatan ekstensi value added income sebagai dasar dari laporan keuangan nilai tambah syariah dan tidak dapat digunakan dalam konsep laporan keuangan syariah karena tidak sesuai dengan Islamic value dan maqashid syariah karena tiga alasan, pertama, pengakuan pendapatan berkaitan dengan realisasi pendapatan akan berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua, pengakuan pendapatan dalam proses pembentukan pendapatan berbasis akrual dan ditetapkannya time value of money berujung riba (interest). Ketiga, prinsip penandingan pendapatan dan biaya juga belum sesuai dengan tujuan syariah.
Pencatatan akuntansi dengan basis akrual memang mengindikasikan melekatnya prinsip nilai waktu uang (tme value of money) yang tidak sesuai dengan nilai syariah. Pengakuan secara akrual berarti menghitung nikai saat (present value) ini bagi nilai yang akan diperoleh di masa depan. Weil (1990) yang dikutip Mulawarman, menjelaskan sebenarnya akuntansi selalu menggunakan time value of money berkenaan penentuan waktu (timing ) terhadap transaksi nilai investasi serta kepastian ases yang dipengaruhi nilai uang. Hal ini jelas dilarang dalam islam, dimana memastikan kondisi yang tidak pasti di masa depan, dan mendekati riba karena ada gharar(ketidakjelasan) tersebut.
Belum lagi asumsi kelangsungan usaha (going concern) yang dalam muamalah seperti yang dinyatakan oleh Abdel Magid (1981) dan Roszaini (2001) bahwa “Mudharaba and musharaka contracts are for specific periods, however, these are assumed to continue until one or all of the parties involved decide to terminate such contracts.”. Dimana asumsi dasar kelangsungan usaha dengan likuidasi adalah persoalan pengecualian benar-benar tidak berlaku. Sebab kontinuitas usaha harus sesuai dengan kontrak bisnis atau kesepakatan atau perjanjian antara masing-masing pihak yang berbisnis.
Asumsi-asumsi dasar ini akan sangat fatal apabila tidak sesuai dengan prinsip islam dan tidak mencapai mqashid syariah, karena akan sangat mempengaruhi standar akuntansi, prosedur dan system sebagai praktik akuntansi di dunia bisnis. Pada kenyataannya memang demikian saat ini, akuntansi syariah harus lebih menambah kajiannya dan lebih mengedepankan pengkajian pada aspek teoritis agar bisa terumus falsafah akuntansi yang islami dengan berdasarkan wahyu yang diturunkan berupa Al qur’an kepada Nabi Muhammad saw berikut dengan penjelasan dalam sunnah-sunnah beliau. Agar akuntansi syariah lebih profetik dari current theory saat ini, dimana pengkajian akuntansinya mencoba membahas dengan pendekatan filosofis yang bersumber dari Al qur’an dan hadist.
Komentar
Posting Komentar