Cinta Harus Sebentuk Kesolehan

Pada ragam ujian yang hadir dalam hidup kita, senyata-nyatanya membuat diri sering termenung yang semakin hari semakin bertambah-tambah. Berkatalah nurani, ujian macam apalagi kali ini yang membuat dada sesak, jiwa bergejolak, perasaan terguncang, pikiran tersita dan gemuruh di sekujur akhirnya. Sambil tangan ini lihai mengusap-usap dada, padahal boleh jadi ia tidak mengurangi kegundahan sedikitpun. Ia hanya sebentuk isyarat, betapa ujian ini sudah cukup meyakinkan diri bahwa ujian ini sangat berat. sebab cinta juga ujian juga sebenarnya.
Saya mau secara spesifik membicarakan apa yang kemudian menjadi sesuatu yang dianggap ujian bagi kemanusiaan. Yakni tentang apa yang disebut cinta. Tema yang tidak pernah usai cerita-cerita kedahsyatannya sepanjang zaman. Sejak ketersendirian Nabi adam as yang terasa tidak nyaman meski di syurga. Sendiri. Akhirnya Allah ciptakan manusia pada bentuk yang lain dari jenisnya sendiri, dari tulang rusuknya. Terciptalah Hawa. Sebagai pelengkap atas ketersendirian Adam di syurga. Sampai cinta itu juga turun ke bumi. Tempat dimana cinta dikontestasikan umat manusia sebagai bagian terkecil dari cinta hakikat yang jadi asal muasalnya, Allah.
Tidak berhenti sampai disitu. Atas nama cinta itu pulalah kemanusiaan itu ada. Sampai saat ini. pada serial-serial tertentu, cinta menunjukkan kedahsyatannya sebagai bentuk penghambaan diri pada pemilik hakikat cinta, Allah. Sebut saja pada serial Adam dan Hawa. Pada serial lainnya, adalah Muhammad saw dan Khadijah, atau juga Ali bin abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Yang kesemua cerita-cerita itu tersingkap definisi cinta yang kini diteladani banyak muslim yang komitmen terhadap keislamannya. Dan cinta menjadi dahsyat ketika ia adalah sebentuk penghambaan diri kepada Allah. Bukan mencintai orang lain atau dalam hal ini mencintai lawan jenis, lantas denganya mencintai Allah. Bukan. Bukan demikian. Tapi karena kita mencintai Allah sebenar-benarnya, dengan demikian kita punya sedikit cinta dengan definisi yang tepat yang kita curahkan pada orang lain. Jadi, kaidah sederhananya adalah jika ada cinta yang kemudian disana tidak menambah kecintaan diri kepada Allah, maka cinta berada pada wilayah definisi yang salah. Oleh sebab sebenarnya kita sepatutnya menyisihkan beberapa cinta yang kita ‘curi’ dari langit untuk disemai di hati orang lain yang dengan keyakinan diri bahwa semaian cinta itu akan tumbuh benih cinta juga akhirnya. Lalu pada hubungan kemanusiaan di dunia ini jika saling mencintai, tidak lain akan lahir juga buah cinta sebagaimana cinta itu menghasilkan buahnya sendiri, yakni memberikan kedamaian, ketenteraman, dan kesalingtergantungan.
Kalau Anda mengkonotasikan cinta adalah sebentuk sikap saling kasih mengasihi antara laki-laki dan perempuan, itu terlalu sempit. Sedang Anda dihadapkan pada tuntutan untuk mampu mencintai dalam ragam yang lain untuk apa saja. Tapi kalau-kalau nyatanya demikian situasi kekiniannya, maka izinkan saya mendefinisikannya juga. Bahwa cinta yang bermula dari jiwa, ia harus berangkat dari hasil pengembaraan cinta kita kepada Allah SWT. Mencintai Allah dengan sungguh-sungguh, semakin menambah taat kepadaNya, dan tawakal pada tiap putusanNya. Lalu atas dasar itulah kita bisa mencintai orang lain dengan tetap membawa komitmen ketaatan. Maka, cinta dengan demikian tidak boleh kurang dari syarat-syarat kesolehan seseorang. Sebagaimana soleh itu didefinisikan, cinta pula harus memenuhi segala definisi dan syarat soleh itu sendiri. Berarti cinta itu, tidak lain adalah sebentuk pemberian, perhatian, empati dan kepedulian. Bukan penguasaan, memaksa kepemilikan, apalagi dengan bentuk kemaksiatan. Kesemuanya adalah pada sikap mencurahkan apa yang bisa kita berikan pada orang yang sudah kita tentukan secara spesifik untuk kita cintai dengan bentuk yang lain dari yang lain. Dan bagian dari sikap-sikap kesolehan itu tadi tidak lain menjadi perantaraan kita mengharapkan keridhoan Allah SWT. Dengan tetap menjaga batas-batas kita tidak menafikan cinta pada ragam lainnya. Jadi tepatnya harus proporsional.
Sekali lagi, kalau Anda mengkonotasikan cinta itu hanya pada saling kasih mengasihi dua insan, maka perbaiki definisi cinta Anda dalam hal ini dengan ukuran-ukuran yang hakikat. Yakni apakah dengan Anda mencintai siapa saja, maka dengannya Anda semakin mengingat Allah, Syurga dan Kematian? Yang ukuran ini adalah ukuran paling hakikat dari cinta yang telah dianugerahkan kepada kemanusiaan. Di bumi. Semoga saja demikian bagi Anda. Dan kekhawatirannya adalah, bahwa apakah kelak cinta benar-benar menuntun siapa saja pada kesejatian hidup yang memuarakan kehidupan pada kematian, lalu ke syurga, setelah itu melihat Allah, bersama orang yang kita cintai. Namun seharusnya, biar kita saja yang memberi jawaban atas kekhawatiran bagi orang yang mencintai kita kelak jika ia sama-sama mengkhawatirkan demikian. Karena cinta adalah harus sebentuk dengan kesolehan. Maka, Saya, Anda dan kita semua, akan punya cinta dengan definisi yang tepat jika kita punya kesolehan. Itu saja. Wallahu a’lam.
Saya mau secara spesifik membicarakan apa yang kemudian menjadi sesuatu yang dianggap ujian bagi kemanusiaan. Yakni tentang apa yang disebut cinta. Tema yang tidak pernah usai cerita-cerita kedahsyatannya sepanjang zaman. Sejak ketersendirian Nabi adam as yang terasa tidak nyaman meski di syurga. Sendiri. Akhirnya Allah ciptakan manusia pada bentuk yang lain dari jenisnya sendiri, dari tulang rusuknya. Terciptalah Hawa. Sebagai pelengkap atas ketersendirian Adam di syurga. Sampai cinta itu juga turun ke bumi. Tempat dimana cinta dikontestasikan umat manusia sebagai bagian terkecil dari cinta hakikat yang jadi asal muasalnya, Allah.
Tidak berhenti sampai disitu. Atas nama cinta itu pulalah kemanusiaan itu ada. Sampai saat ini. pada serial-serial tertentu, cinta menunjukkan kedahsyatannya sebagai bentuk penghambaan diri pada pemilik hakikat cinta, Allah. Sebut saja pada serial Adam dan Hawa. Pada serial lainnya, adalah Muhammad saw dan Khadijah, atau juga Ali bin abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Yang kesemua cerita-cerita itu tersingkap definisi cinta yang kini diteladani banyak muslim yang komitmen terhadap keislamannya. Dan cinta menjadi dahsyat ketika ia adalah sebentuk penghambaan diri kepada Allah. Bukan mencintai orang lain atau dalam hal ini mencintai lawan jenis, lantas denganya mencintai Allah. Bukan. Bukan demikian. Tapi karena kita mencintai Allah sebenar-benarnya, dengan demikian kita punya sedikit cinta dengan definisi yang tepat yang kita curahkan pada orang lain. Jadi, kaidah sederhananya adalah jika ada cinta yang kemudian disana tidak menambah kecintaan diri kepada Allah, maka cinta berada pada wilayah definisi yang salah. Oleh sebab sebenarnya kita sepatutnya menyisihkan beberapa cinta yang kita ‘curi’ dari langit untuk disemai di hati orang lain yang dengan keyakinan diri bahwa semaian cinta itu akan tumbuh benih cinta juga akhirnya. Lalu pada hubungan kemanusiaan di dunia ini jika saling mencintai, tidak lain akan lahir juga buah cinta sebagaimana cinta itu menghasilkan buahnya sendiri, yakni memberikan kedamaian, ketenteraman, dan kesalingtergantungan.
Kalau Anda mengkonotasikan cinta adalah sebentuk sikap saling kasih mengasihi antara laki-laki dan perempuan, itu terlalu sempit. Sedang Anda dihadapkan pada tuntutan untuk mampu mencintai dalam ragam yang lain untuk apa saja. Tapi kalau-kalau nyatanya demikian situasi kekiniannya, maka izinkan saya mendefinisikannya juga. Bahwa cinta yang bermula dari jiwa, ia harus berangkat dari hasil pengembaraan cinta kita kepada Allah SWT. Mencintai Allah dengan sungguh-sungguh, semakin menambah taat kepadaNya, dan tawakal pada tiap putusanNya. Lalu atas dasar itulah kita bisa mencintai orang lain dengan tetap membawa komitmen ketaatan. Maka, cinta dengan demikian tidak boleh kurang dari syarat-syarat kesolehan seseorang. Sebagaimana soleh itu didefinisikan, cinta pula harus memenuhi segala definisi dan syarat soleh itu sendiri. Berarti cinta itu, tidak lain adalah sebentuk pemberian, perhatian, empati dan kepedulian. Bukan penguasaan, memaksa kepemilikan, apalagi dengan bentuk kemaksiatan. Kesemuanya adalah pada sikap mencurahkan apa yang bisa kita berikan pada orang yang sudah kita tentukan secara spesifik untuk kita cintai dengan bentuk yang lain dari yang lain. Dan bagian dari sikap-sikap kesolehan itu tadi tidak lain menjadi perantaraan kita mengharapkan keridhoan Allah SWT. Dengan tetap menjaga batas-batas kita tidak menafikan cinta pada ragam lainnya. Jadi tepatnya harus proporsional.
Sekali lagi, kalau Anda mengkonotasikan cinta itu hanya pada saling kasih mengasihi dua insan, maka perbaiki definisi cinta Anda dalam hal ini dengan ukuran-ukuran yang hakikat. Yakni apakah dengan Anda mencintai siapa saja, maka dengannya Anda semakin mengingat Allah, Syurga dan Kematian? Yang ukuran ini adalah ukuran paling hakikat dari cinta yang telah dianugerahkan kepada kemanusiaan. Di bumi. Semoga saja demikian bagi Anda. Dan kekhawatirannya adalah, bahwa apakah kelak cinta benar-benar menuntun siapa saja pada kesejatian hidup yang memuarakan kehidupan pada kematian, lalu ke syurga, setelah itu melihat Allah, bersama orang yang kita cintai. Namun seharusnya, biar kita saja yang memberi jawaban atas kekhawatiran bagi orang yang mencintai kita kelak jika ia sama-sama mengkhawatirkan demikian. Karena cinta adalah harus sebentuk dengan kesolehan. Maka, Saya, Anda dan kita semua, akan punya cinta dengan definisi yang tepat jika kita punya kesolehan. Itu saja. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar