Rambu-Rambu Kolektifitas Amal; Sebab Perjalanan Masih Jauh

Pagi ini saya sengaja mengulang-ulang sebuah lirik nasyid (Qathrunada, Apakah Benar Engkau Pejuang?) yang cukup menjadi bagian dalam mengevaluasi diri tentang segala aktivitas ‘keperjuangan’ dalam dakwah. Oleh sebab kekesatan hati seringkali juga timbul darinya bahkan, sebab memang ia juga kumpulan manusia yang bodoh dan lemah, bukan barisan-barisan malaikat yang luput dari kesalahan.


Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak mampu menerima ujian
Engkau ingin berjuang,
Tapi engkau rosak oleh pujian
Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak sepenuhnya menerima pimpinan

Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak begitu setia kawan
Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak sanggup berkorban
Engkau ingin berjuang,
Tapi ingin jadi pemimpin
Engkau ingin berjuang,
Menjadi pengikut agak segan

Engkau ingin berjuang,
Tolak ansur engkau tidak amalkan
Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak sanggup menerima cabaran
Engkau ingin berjuang,
Kesihatan dan kerehatan,
Tidak sanggup engkau korbankan
Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak mampu menerima ujian

Engkau ingin berjuang,
Tapi engkau rosak oleh pujian
Engkau ingin berjuang,
Tapi tidak sepenuhnya menerima pimpinan,
Engkau ingin berjuang,
Masa tidak sanggup engkau luangkan

Engkau ingin berjuang,
Karenah isteri tidak kau tahan
Engkau ingin berjuang,
Rumahtangga lintang-pukang
Engkau ingin berjuang,
Diri engkau tidak engkau tingkatkan

Engkau ingin berjuang,
Disiplin diri engkau abaikan
Engkau ingin berjuang,
Janji kurang engkau tunaikan
Engkau ingin berjuang,
Kasih sayang engkau cuaikan
Engkau ingin berjuang,
Tetamu engkau abaikan

Engkau ingin berjuang,
Anak isteri engkau lupakan
Engkau ingin berjuang,
Ilmu berjuang engkau tinggalkan
Engkau ingin berjuang,
Kekasaran dan kekerasan engkau amalkan

Engkau ingin berjuang,
Pandangan engkau tidak diselaraskan
Engkau ingin berjuang,
Rasa bertuhan engkau abaikan
Engkau ingin berjuang,
Iman dan taqwa engkau lupakan

Ya sebenarnya apa yang
Engkau hendak perjuangkan.

Terkait kolektifitas dalam beramal memang punya urgensi yang besar untuk diwujudkan dalam barisan-barisan yang rapi dan kokoh. Tentang amal – amal individu yang dikristalisasi menjadi amal bersama, maka ia juga akan memperbesar ‘ momentum amal ‘ untuk semakin meninggikan izzah kebenaran di atas kebathilan, oleh sebab besarnya itulah ia menjadi ‘gagah’ menerjang apa saja yang dihadapannya, utamanya bagi mereka yang berada pada oposan kebenaran.

Dari pentingnya berjamaah adalah karena syaithan menyerang sesiapa yang sendirian dalam beramal. Sendirian dalam berjuang dan sendirian dalam menerjang amuknya keadaan. Kesalingtergantungan antar kita para aktivis dakwah berada pada penggandaan keberanian diri dan pada saat yang sama sebagai uoaya meredam kecemasan-kecemasan. Jelasnya kita saling membutuhkan. Saling mengingatkan tatkala ada kebenaran yang luput untuk disampaikan, meluruskan kesalahan, dan saling meneguhkan iman yang dengannya semakin mendekatkan pribadi masing-masing pada Allah, Rabb Semesta Alam. Mari serapi mengapa berjamaah sangat penting dalam menjaga ketahanan diri dari godaan syetan, sebagaimana Rasulullah saw mengajarkan dengan sunnahnya, “Satu orang pengendara adalah syetan, dua orang pengendara adalah dua syetan, dan tiga orang pengendara baru disebut pengendara yang banyak” (HR. Malik, Abu Daud dan Turmudzi). Dalam riwayat lain “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menikmati taman syurga, hendaklah ia berjamaah. Karena syaitan itu bersama orang yang sendiri, dan ia akan menjauh dari dua orang.”(HR. Ahmad Turmudzi dan Hakim)

Ada rambu-rambu yang mesti diperhatikan dalam menjalankan amal-amal kolektif, dimana awal mula gagasan ide bermunculan dari adanya aktivitas perundingan-perundingan atau interaksi-interaksi sesama angota jamaah. Oleh sebab manusia itu sendiri berpotensi salah, maka potensi kolektifitas atas kesalahan lebih besar potensinya terjadi. Ibnul Qayyim al Jauziyah(dalam Al Fawaid, 60) memberikan arahan bahwa setidaknya berkumpulnya orang-orang beriman atas aktivitas amal mereka mengandung marabahaya jika tidak diperhatikan dengan seksama, marabahaya tersebut ialah pertama, tatkala dalam perkumpulan itu, satu sama lain saling menghiasi dan membenarkan. Tidak ada yang salah memang dalam hal ini jika secara redaksional Ibnul Qayyim mengisyaratkan demikian. Hanya saja yang dimaksud oleh Ibnul Qoyyim adalah menghiasi dan membenarkan atas ragam kesalahan yang dilakukan salah satu atau sebagian lainnya. Dengan adanya hal ini, maka besar kemungkinan akan menafikan memenuhi hak dan suasana saling menasehati bagi saudara seiman. Kedua, ketika dalam perkumpulan itu, pembicaraan dan pergaulan antar mereka melebihi kebutuhan. Hal ini sama halnya dengan terlampau banyak waktu untuk berkumpul yang melewatkan amal yang lebih utama lainnya, dan menjadi waktu yang terlewati dengan sia-sia. Ketiga , ketika pertemuan mereka menjadi keinginan syahwat dan kebiasaan yang justru menghalangi mereka dari tujuan yang diinginkan.

Ikhwah…

Di tengah ragam aktivitas kita, sejujurnya dalam diri ada perasaan yang boleh jadi hilang ketika kebersamaan dalam dakwah sekalipun tidak mampu mengembalikannya. Apakah ia? Ia adalah kesempatan untuk semakin menjaga kebersihan hati dan keimanan yang semakin memuncak kepada Allah SWT. Kegersangan jiwa kita masing-masing tatkala sendiri, harusnya teratasi dengan adanya saat-saat bertemu. Dimana saat-saat itulah diri merasa semakin rindu bertemu Rabb Pencipta Alam semesta, rindu bermunajat kepadaNya, dan rindu beramal kembali lebih banyak setelahnya. Maka, dengan demikian kita setidaknya bisa mengidentifikasi apakah pada setiap amal-amal kolektif kita tetap berada pada wilayah kebenaran ialah pada ukuran apakah dengan bertemunya kita, kita semakin ingat kepada Allah SWT atau tidak. Dalam hal ini bukan berarti mengesampingkan sarana-sarana pertemuan merencanakan aktivitas amal bersama atau dikurangi frekuensinya, tapi penekanannya ialah pada proses perbaikan dari waktu ke waktu di setiap bertemunya kita. Syariatnya, caranya, etikanya dan rambu-rambunya. Bahwa pertemuan, perundingan, kesepakatan hanya sebatas sebagai sarana yang tidak patut dijadikan tujuan utama apalagi diutamakan. Bahwa yang utama ialah amalnya itu sendiri, besarnya, massifnya dan gemuruhnya. Selayak gelombang menggulung laut yang tenang dan memberi isyarat bagi siapa saja yang berdiam diri dari kebenaran di tepi.

Duhai ikhwah….

Mari perbesar gelombang amal kolektifitas kita dengan cara memperbanyak dan melibatkan sebanyak mungkin orang yang berazam menjaga taat dalam proses hijrahnya. Serukan, dengungkan, dan gemakan kebenaran di sudut – sudut keramaian. Sampaikan berita gembira bagi mereka yang rindu akan Tuhannya, yang taat kepadaNya, dan ikhlas atas qadha dan qadharnya. Tapi masing-masing kita juga juga pandai-pandailah menghaluskan, melirihkan dan membisikkan kabar gembira dari Tuhan di ‘telinga-telinga’ saudara kita yang lain sebagai tandingan atas bisikkan syetan yang tidak pernah luput darinya melainkan bagi orang-orang yang ikhlas kepada Tuhannya. Juga sebagai isyarat bahwa kita perlu menunaikan kewajiban individu untuk berdakwah bagi individu yang lain.

Pada tiap sarana-sarana itulah kita tetap berharap, bahwa dengannya kita bisa menjaga diri dari musuh paling nyata bagi manusia, syaitan. Sebab “ Tak ada sekelompok orang yang keluar ke Makkah (untuk ketaatan) kecuali iblis telah mempersiapkan pasukan yang sama untuk menghalangi mereka” (Mujahid). Agar dengan itu pula kita semua dikumpulkan kelak disana, di kampung halaman kita, Syurga. Amin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Konsep Dasar Akuntansi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar