Kebahagiaan

Barangkali yang menjadi definisi bahagia pada masing-masing orang sangat berbeda. Yang dimaksud adalah preferensi sebab-sebab kemunculan rasa bahagia itu hadir. Juga pada kondisi diri yang jadi alasan untuk mengklaim bahwa saat kondisi itulah saat bahagia dalam hidupnya. Namun kalau definisi bahagia itu hanya pada kondisi-kondisi tertentu, lantas apa Allah mentakdirkan begitu kebahagiaan bisa dirasakan. Dalam sudut pandang ekonomi (current system) kebahagiaan adalah saat-saat individu mampu memenuhi kepuasaan atas keinginan-keinginan yang bermetamorfosis dari lintasan pikiran. Kemudian dalam kondisi kecukupan harta. Mampu mengakhiri hobi dirinya dengan begitu nikmat. Memiliki istri yang cantik. Keturunan yang banyak. Atau sedikit berkorban lalu sebagian lainnya untuk istirahat karena dalih-dalih menjaga fisik dan dari menjaga klaim kesan memaksakan diri. Karena khawatir mengancam kesehatan fisik dan kelelahan pikiran. Melihat sisi lain kehidupan yang jadi paradoks di atas setidaknya bisa mendefisikan kembali apa rasa bahagia pada hakikatnya. Apa sebab-sebab kemunculannya, dan kondisi bagaimana eksistensinya. Apabila definisi bahagia hanya berkutat pada hal-hal demikian, lalu dimana letak Maha Adilnya Allah SWT. Bagaimana definisi bagi rakyat-rakyat jelata yang sebagian besar malam-malamnya hanya berselimut embun saat mereka melepas keletihannya. Bagaimana pula definisi bahagia bagi anak-anak yang tidak punya kesempatan memuaskan dirinya dengan hobi-hobi sedang dirinya disibukkan dengan menjajakkan kantong plastik di pasar-pasar. Lantas bagaimana pula para sahabat, pejuang islam, para khalifah, mujahidin dan para penakluk mendefinisikan kebahagian hati meraka sedang dirinya disibukkan dengan mengingat Tuhannya dan berkorban jiwa raga harta, padahal boleh jadi ada batu diantara perut-perut mereka untuk mengurangi rasa nyeri atas laparnya mereka.
Kalau definisi bahagia kini adalah dengan menghindari diri dari pengorbanan jiwa, lantas mengapa Ja’far bin Abi Thalib begitu bahagia dengan pengorbanan jiwanya. Yang ia sendiri merelakan dirinya untuk mempertahankan panji yang diamanahkan oleh Rasulullah saw saat perang Mu’tah setelah Zaid syahid. Menjadi panglima perang setelahnya. Dan karena kerelaan dirinya mempertahankan panji, ia memegangnya dengan tangan kiri setelah tangan kanannya putus terkena tebasan pedang. Lalu ia juga rela memegang dengan lengannya setelah tangan kirinya juga mengalami hal yang sama. Lalu setelah itu ia mati. Dengan gelar kemuliaan dari Allah. Syuhada. Dan dengan gelar kemuliaan dari para sahabat, Dzu Al Janahain (pemilik dua sayap), Ja’far At Thayyar (orang yang dapat terbang). Jelas, karena tangannya yang ia tinggalkan sebelum tamu istimewa hadir menemui dirinya, kematian. Dan dalam hal ini Rasulullah bersabda, “ Aku masuk ke dalam syurga dan kulihat Ja’far terbang bersama malaikat sedang kedua sayapnya penuh dengan lumuran darah.”
Kalau definisi bahagia kini adalah dengan bermewah-mewah dan menimbun-nimbun dalam hal harta, lantas mengapa Abdurrahman bin Auf yang diberitakan RAsulullah saw masuk syurga itu begitu khawatir atas harta lalu dengan rela melepas hartanya dalam sehari untuk memerdekakan 30 budak. Juga kerelaan dirinya mendermakan satu kafilah yang terdiri dari 700 kendaraan niaga hanya karena mendengar rasulullah bersabda mengenai dirinya, Aku melihat Abdurrahman masuk syurga dengan merayap. Dan ia berkata dalam hal ini,” Kalau aku bisa masuk syurga dengan berdiri, niscaya akan kulakukan.” Bahagia bagi Abdurrahman bin Auf setidaknya terlihat dari kedermawanan. Yang ia mewasiatkan 400 dinar bagi mujahidin yang andil dalam perang Badar. Sekalipun Utsman ada diantaranya, ia mau menerima. Dan iapun mewasiatkan 1000 ekor kuda dan 50.000 dinar untuk perjuangan di jalan Allah.
Dan kalau definisi bahagia kini adalah dengan memenuhi kepuasan diri dari keinginan-keinginan nafsu belaka, lantas mengapa Mush’ab bin Umair mau meninggalkan kemewahan keluarganya untuk membela Al Islam dan tetap menjaganya meskipun ibunya mengancam akan membunuh dirinya sendiri. Memilih menjadi miskin setelah kaya. Memilh compang-camping dalam hal pakaian dan makan makanan seadanya. Padahal jikalau mau, ia bisa saja kembali dengan menghampiri kekayaan dan segala kemegahannya. Tapi peristiwa saat itu,, kisahnya dan sejarahnya tidak begitu. Ia memilih hidup miskin dan sekedarnya karena khawatir terlena karenanya. Juga fitnah. Dan karena ia memilih begitu, maka sejarah mencatat kemuliaannya diantara para syuhada. Sebab ia mati dalam berjihad, dan hanya meninggalkan sehelai kain yang sekedar untuk menutupi jasadnya saja tidak cukup. Maha Suci Allah.
Hal-hal demikianlah yang seharusnya memaksa diri untuk merenungi dan mendefinisikan kembali apa makna hakikat dari rasa bahagia. Dengan apa ia bisa dirasakan, dan dalam kondisi apa ia hadir menyelimuti relung hati bagi orang-orang yang sedang ingin bahagia. Keyakinan yang masih relevan hingga sekarang dan nanti adalah bahwa bahagia merupakan hak bagi siapapun. Bagi mereka yang kaya dan bagi mereka yang miskin. Bagi mereka yang lapang dan bagi mereka yang sempit. Bagi mereka yang punya kesempatan dan bagi mereka yang sedang terhimpit. Semua punya peluang yang sama untuk bahagia. Dan memang itulah Maha Adilnya Allah. Takdir Ia yang beragam atas makhlukNya, tidak beragam sebab dan kondisi untuk mampu merasakan kebahagiaan itu. Sebab definisi bahagia dengan melihat paradoks-paradoks di atas, adalah saat- saat jiwa begitu ikhlas merelakan diri menerima takdir yang Allah ukir di sana, Lauhul Mahfudz. Juga karena takdirnya sudah ditentukan, maka kebahagiaan pada definisi yang hakiki adalah saat diri mampu memanfaatkan takdir sebagai sarana mengkapitalisasi amal-amal kebajikan yang tulus, rela dan ikhlas. Bagi yang miskin, kebaikan bagi dirinya yang melahirkan kebahagiaan terletak pada nuansa defensifitas emosional bernama ketabahan. Juga pada saat yang sama ia tetap menjaga izzah dirinya dari meminta-minta. Sedang bagi yang kaya kebaikan bagi dirinya yang melahirkan kebahagiaan terletak pada nuansa defensifitas bernama zuhud. Dan pada saat yang sama ia hanya mengambil harta yang cukup untuk keperluannya dan keluarganya, dan sebagian lainnya ia persembahkan dalam kepentingan umat. Dan definisi kebahagiaan pada makna hakikat adalah saat perasaan, pikiran dan kebaikan hanya ditujukan untuk Allah semata. Tidak untuk selainNya. Jikapun merasa bahagia dalam hal-hal lain, maka porsi saat-saat dekat dengan Allah-lah yang terbesar membahagiakan diri. Menyampaikan kerisauan hanya pada Allah. Bersyukur atas segala KaruniaNya setiap waktu. Di mihrab-mihrab tempat peraduan. Di pojok-pojok masjid tempat kesunyian. Sendiri saja. Lalu barangkali berucap lirih di hati dalam doa dengan sedikit kekhawatiran, takut balasan kebaikan-kebaikan dibalas terlalu cepat sedang nanti disana dengan apa diri berbahagia. Ya, disana. Akhirat. Dengan syurgakah? Semoga saja.
Kalau definisi bahagia kini adalah dengan menghindari diri dari pengorbanan jiwa, lantas mengapa Ja’far bin Abi Thalib begitu bahagia dengan pengorbanan jiwanya. Yang ia sendiri merelakan dirinya untuk mempertahankan panji yang diamanahkan oleh Rasulullah saw saat perang Mu’tah setelah Zaid syahid. Menjadi panglima perang setelahnya. Dan karena kerelaan dirinya mempertahankan panji, ia memegangnya dengan tangan kiri setelah tangan kanannya putus terkena tebasan pedang. Lalu ia juga rela memegang dengan lengannya setelah tangan kirinya juga mengalami hal yang sama. Lalu setelah itu ia mati. Dengan gelar kemuliaan dari Allah. Syuhada. Dan dengan gelar kemuliaan dari para sahabat, Dzu Al Janahain (pemilik dua sayap), Ja’far At Thayyar (orang yang dapat terbang). Jelas, karena tangannya yang ia tinggalkan sebelum tamu istimewa hadir menemui dirinya, kematian. Dan dalam hal ini Rasulullah bersabda, “ Aku masuk ke dalam syurga dan kulihat Ja’far terbang bersama malaikat sedang kedua sayapnya penuh dengan lumuran darah.”
Kalau definisi bahagia kini adalah dengan bermewah-mewah dan menimbun-nimbun dalam hal harta, lantas mengapa Abdurrahman bin Auf yang diberitakan RAsulullah saw masuk syurga itu begitu khawatir atas harta lalu dengan rela melepas hartanya dalam sehari untuk memerdekakan 30 budak. Juga kerelaan dirinya mendermakan satu kafilah yang terdiri dari 700 kendaraan niaga hanya karena mendengar rasulullah bersabda mengenai dirinya, Aku melihat Abdurrahman masuk syurga dengan merayap. Dan ia berkata dalam hal ini,” Kalau aku bisa masuk syurga dengan berdiri, niscaya akan kulakukan.” Bahagia bagi Abdurrahman bin Auf setidaknya terlihat dari kedermawanan. Yang ia mewasiatkan 400 dinar bagi mujahidin yang andil dalam perang Badar. Sekalipun Utsman ada diantaranya, ia mau menerima. Dan iapun mewasiatkan 1000 ekor kuda dan 50.000 dinar untuk perjuangan di jalan Allah.
Dan kalau definisi bahagia kini adalah dengan memenuhi kepuasan diri dari keinginan-keinginan nafsu belaka, lantas mengapa Mush’ab bin Umair mau meninggalkan kemewahan keluarganya untuk membela Al Islam dan tetap menjaganya meskipun ibunya mengancam akan membunuh dirinya sendiri. Memilih menjadi miskin setelah kaya. Memilh compang-camping dalam hal pakaian dan makan makanan seadanya. Padahal jikalau mau, ia bisa saja kembali dengan menghampiri kekayaan dan segala kemegahannya. Tapi peristiwa saat itu,, kisahnya dan sejarahnya tidak begitu. Ia memilih hidup miskin dan sekedarnya karena khawatir terlena karenanya. Juga fitnah. Dan karena ia memilih begitu, maka sejarah mencatat kemuliaannya diantara para syuhada. Sebab ia mati dalam berjihad, dan hanya meninggalkan sehelai kain yang sekedar untuk menutupi jasadnya saja tidak cukup. Maha Suci Allah.
Hal-hal demikianlah yang seharusnya memaksa diri untuk merenungi dan mendefinisikan kembali apa makna hakikat dari rasa bahagia. Dengan apa ia bisa dirasakan, dan dalam kondisi apa ia hadir menyelimuti relung hati bagi orang-orang yang sedang ingin bahagia. Keyakinan yang masih relevan hingga sekarang dan nanti adalah bahwa bahagia merupakan hak bagi siapapun. Bagi mereka yang kaya dan bagi mereka yang miskin. Bagi mereka yang lapang dan bagi mereka yang sempit. Bagi mereka yang punya kesempatan dan bagi mereka yang sedang terhimpit. Semua punya peluang yang sama untuk bahagia. Dan memang itulah Maha Adilnya Allah. Takdir Ia yang beragam atas makhlukNya, tidak beragam sebab dan kondisi untuk mampu merasakan kebahagiaan itu. Sebab definisi bahagia dengan melihat paradoks-paradoks di atas, adalah saat- saat jiwa begitu ikhlas merelakan diri menerima takdir yang Allah ukir di sana, Lauhul Mahfudz. Juga karena takdirnya sudah ditentukan, maka kebahagiaan pada definisi yang hakiki adalah saat diri mampu memanfaatkan takdir sebagai sarana mengkapitalisasi amal-amal kebajikan yang tulus, rela dan ikhlas. Bagi yang miskin, kebaikan bagi dirinya yang melahirkan kebahagiaan terletak pada nuansa defensifitas emosional bernama ketabahan. Juga pada saat yang sama ia tetap menjaga izzah dirinya dari meminta-minta. Sedang bagi yang kaya kebaikan bagi dirinya yang melahirkan kebahagiaan terletak pada nuansa defensifitas bernama zuhud. Dan pada saat yang sama ia hanya mengambil harta yang cukup untuk keperluannya dan keluarganya, dan sebagian lainnya ia persembahkan dalam kepentingan umat. Dan definisi kebahagiaan pada makna hakikat adalah saat perasaan, pikiran dan kebaikan hanya ditujukan untuk Allah semata. Tidak untuk selainNya. Jikapun merasa bahagia dalam hal-hal lain, maka porsi saat-saat dekat dengan Allah-lah yang terbesar membahagiakan diri. Menyampaikan kerisauan hanya pada Allah. Bersyukur atas segala KaruniaNya setiap waktu. Di mihrab-mihrab tempat peraduan. Di pojok-pojok masjid tempat kesunyian. Sendiri saja. Lalu barangkali berucap lirih di hati dalam doa dengan sedikit kekhawatiran, takut balasan kebaikan-kebaikan dibalas terlalu cepat sedang nanti disana dengan apa diri berbahagia. Ya, disana. Akhirat. Dengan syurgakah? Semoga saja.
Komentar
Posting Komentar