Menata Ekonomi Baru

Bersama kemegahan dan kedigdayaan ekonomi sekarang (konvensional) ternyata juga masih menyisakan ‘kemegahan’ istana-istana gubuk di belahan bumi yang lain. Terdapat ‘imperium’ ekonomi ‘busung lapar’ yang boleh jadi korban atas tidak adanya akses ekonomi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan keekonomiannya. Sembari sangat yakin bahwa ada hak ekonomi yang secara paksa terampas. Secara sosial tidak terdistribusikan. Dan secara politik terabaikan, kalau tidak disebut sebagai pemerasan. Maka, siapapun harus sangat yakin betapa harta juga kekayaan yang secara sengaja ataupun tidak telah ‘merampas’ hak ekonomi orang lain pada sebagian masyarakat negara dan masyarakat lintas negara. Kaidah ekonomi mengatakan bahwa hampir setiap kekayaan dan harta itu berpusat pada golongan tertentu yang secara kesepakatan sosial disebut golongan kaya. Oleh karena itu jika pandangan ekonomi hanya dilihat dari sisi pemenuhan kepuasan pribadi dan penumpukkan harta kekayaan, maka kemakmuran sejatinya tidak akan pernah terwujud. Sebab, ada variable kebutuhan lain yang juga sama pentingnya dengan kepentingan pribadi. Yang ia juga menjadi penentu cepatnya kemakmuran itu terwujud. Variable ekonomi itu adalah kebutuhan sosial atau kolektif. Dimana kaidah untuk memenuhi kebutuhan sosial berarti ada ongkos pengorbanan yang dialokasikan dari kebutuhan pribadi atau individu. Ada beberapa nominal atau porsi yang selalu harus teralokasikan pada kebutuhan sosial jika ekonomi mau mewujudkan kemakmuran kolektif.
Hal inilah yang tampaknya belum jadi dan bahkan tidak akan menjadi konsep ekonomi sekarang (konvensional). Sebab konsepnya bermula dari pandangan dunianya yang utilitarian. Dimana salah satu masalah ekonominya adalah untuk mengatasi keinginan yang tidak terbatas atas sumber daya yang terbatas. Ditekankan lagi oleh para ekonom yang berpandangan sekuler yang menyatakan bahwa dogma-dogma agama hanyalah isapan jempol belaka dan tidak perlu terlalu repot untuk mengurusi kepentingan manusia. Jikapun ada konsep pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, itupun diasumsikan pada cara-cara yang keliru dan gegabah. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation, mengatakan bahwa memenuhi kepuasan pribadi atau individu secara terus-menerus pada akhirnya akan memenuhi kepuasan masyarakat secara umum atau terpenuhinya kebutuhan kolektif. Inilah yang ia sebut sebagai Invisible Hand.
Diantara kegagalan ekonomi konvensional dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran adalah disebabkan karena pandangan-pandangannya terhadap dunia (worldview) yang sekuler telah mengilhami mekanisme-mekanisme ekonomi yang sama sekulernya dengan pandangan tadi. Meskipun sejak beberapa kali tertimpa krisis sehingga sedikit mengubah tujuan ekonominya ‘agak’ lebih humanis, tetapi dilakukan dengan cara-cara (positivisme) yang sama sekali tidak mengarah pada kemakmuran itu. Oleh karenanya, jika ilmu ekonomi konvensional saat ini juga tidak ada niatan untuk mengubah pandangan hidup terhadap dunianya, maka mimpi-mimpi kemakmuran hanya ada dalam tidur-tidur yang panjang. Sedang ketika ia bangkit dari tidurnya, barulah tersadar bahwa ironi-ironi ekonomi ada diantaranya. Dan jika ilmu ekonomi konvensional benar-benar ‘keras kepala’ akan hal itu, maka bukan lagi menjadi proses berfikir yang panjang untuk mengembangkan ilmu ekonomi yang lain yang ‘dirinya’ mengakomodasi nilai-nilai sosial dan menjadi jalan terwujudnya kemakmuran dunia. Ilmu ekonomi sederhana yang ditujukan untuk manusia-manusia sederhana. Ilmu ekonomi islam.
Komentar
Posting Komentar