Kebijakan "Bijak" Membangun Ekonomi


Di tengah suasana ekonomi yang cenderung menunjukkan instabilitas selalu saja ada langkah – langkah recovery yang justru selalu berujung pada semakin besarnya instabilitas itu. Atau jika tidak, langkah itu hampir tidak mampu meng-cover ‘kerusakan ekonomi’ yang disebabkan oleh apapun ia bermula. Selalu saja banyak persoalan baru yang ditimbulkan dari kebijakan ekonomi yang menurut teorinya mampu mengantisipasi dan menanggulangi instablitas ekonomi, tetapi ternyata penyederhanaan menjadi sebuah teori benar-benar menyederhanakan dampak negatif yang ditimbulkan.

Sejak aktivitas ekonomi ini ‘mendeklarasikan’ untuk diliberalisasi, sejak itulah bermunculan berbagai kepongahan para pengambil kebijakan dan ketidakberdayaan ‘penikmat kebijakan’ yang dengan sangat terpaksa menikmatinya. Bukan karena tidak mau melawan, tetapi karena perlawanan selalu berujung di kurungan. Ada hulu yang jadi sebab mengapa liberalisasi ekonomi ini diberlakukan. Tentu bukan dimaksudkan untuk mengarahkan telunjuk ini kepada siapapun sebagai pengahakiman atas semua yang telah terjadi sekarang. Bukan. Bukan itu. Tapi jauh lebih elegan dan objektif adalah kebijakan seperti apa yang telah diambil dan diberlakukan. Kebijakan pembangunan seperti apa beserta tahapannya yang kini perlu dikaji dimana letak kesalahan jika itu memang ada. Sebab kaidahnya ketika ada asap maka ia bermula dari adanya api. Begitu pula kondisi ekonomi yang tidak kunjung stabil. Pasti ada ‘api kerusakan’ yang merusak bangunan ekonomi. Atau ada batu bata bangunan ekonomi yang sangat rapuh atau bahkan berlubang besar yang mengakibatkan kerapuhan bangunan ekonomi secara makro.

Pada dasarnya semua sepakat mengenai ekonomi ini yang sejak pertama kali dibangun sudah pada karakteristiknya sama dengan ekonomi liberal. Walaupun konstitusi menyatakan bentuk ekonomi yang lain (ekonomi kerakyatan) tetapi sangat disadari ternyata ekonomi ini juga liberal. Walaupun kelihatan agak di ‘tengah’ diantara keduanya, tetapi cenderung liberal dalam banyak kasus. Ini berarti mudah diambil satu kesimpulan bahwa semua ciri dan karakteristik ekonomi liberal pasti ada di dalamnya. Dan memang ada. Dianut pula. Pada tataran filosofis ekonomi liberal menetapkan tujuan dari ilmu ekonominya yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Tapi sangat multi-interpretatif dan cenderung self interest dalam kaitannya dengan kesejahteraan seperti apa yang ditawarkan ekonomi macam ini. Dan pada tataran aplikasi memang sarat dengan kehidupan yang hedonistic juga hanya men-‘sejahtera’kan segolongan kecil masyarakat. Sisanya, adalah korban ‘perasan’ untuk diraup kekayaannya. Di level aplikasi juga diterapkan hal yang sama. Sama-sama menguras kekayaan sebagian besar orang untuk sebagian kecil orang. Bunga. Dan pada level penanganan (recovery) dampak juga selalu serampangan. Gegabah. Dan selalu mengkontruksi pada satu hal tetapi men-destruksi hal lain. Jadi, ya tidak akan pernah tercapai apa yang disebut kesejahteraan. Terlebih kesejahteraan kolektif atau sosial. Apa sebab? Sebab bahan dasar bangunan yang digunakan adalah ‘sampah’. Tiang yang digunakan untuk mengokohkan juga ‘sampah’. Begitupun atap yang dibangun. ‘Sampah’. Sesuatu yang lahir dari sampah pada dasarnya juga sampah. Meskipun sampai babak belur diperdebatkan.

Lalu bisakah kebijakan yang selama ini dilakukan disimpulkan sebagai kebijakan yang tergolong tidak bijak? Mungkin saja. Dan adakah kebijakan lain yang sama sekali berbeda dan sebagai substitusi dari kebijakan yang tidak bijak ini? Tentu ada. Namun sayangnya belum ada yang melakukan pada aplikasi yang sama sebagaimana ‘pembangun konsep’ kebijakan bijak ini telah membuktikannya kepada sejarah. Yang kemudian tercatat dalam sejarah kemanusiaan dan juga pada peradaban yang pernah jaya saat ‘konsep’ itu di-ilhamkan hingga masa setelahnya. Dan hampir banyak yang tidak menyadari sejarah ‘imperium ekonomi’ tersebut. Karena tidak mau tahu dan karena sengaja di’hijab’ pengetahuan itu. Apa kebijakan yang bijak itu? Kebijakan Ekonomi Islam. Wallahu’Alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi