Mari Bangun "Narasi" Bersama (dedicated for IsEF)



Wahai Pemuda!

Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadaNya, Ikhlas dalam berjuang di jalanNya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya. Sepertinya keempat rukun ini yakni iman, ikhlas, semangat dan amal merupakan karakter yang melekat pada diri pemuda.
Karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri pemuda. Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah panji-panjinya.
Beranjak dari sini, sesungguhnya banyak kewajiban-kewajiban kalian, besar tanggung jawab kalian, semakin berlipat hak-hak umat yang harus kalian tunaikan dan semakin berat amanat yang terpikul di pundak kalian. Kalian harus berfikir panjang, banyak beramal, bijak dalam menentukan sikap, maju untuk menjadi penyelamat, dan hendaklah kalian mampu menunaikan hak-hak umat ini dengan sempurna.

(Imam Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail)

Saya tidak bisa terlalu jelas membayangkan apa yang mejadi perasaan Sang Imam Syahid ketika menuliskan pesan-pesan untuk para pemuda pada setiap lembaran hikmahnya. Bagaimana raut wajahnya, bagaimana tatapannya kepada para pemuda, dan seperti apa harapan-harapan yang sebenarnya. Yang begitu kentara cukup jelas saat membaca ini adalah besaran gelora dakwahnya kepada umat. Yang ia sendiri banyak berharap kepada para pemuda dan mahasiswa agar menyadari kewajiban-kewajiban kepemudaan. Kewajiban satu rentang masa kehidupan yang mesti ditunaikan dengan banyak beramal kebaikan. Rentang masa yang pendek yang wajib menghasilkan karya-karya amal secara sempurna. Dan muaranya adalah untuk memenuhi hak-hak umat.
Dalam konteks kebersamaan para pemuda sekarang di dalam sebuah komunitas tidaklah bijak jika terlalu puas dan kemudian merasa cukup untuk sekedar berkumpul dalam satu simpul kebersamaan. Para pembawa idealisme islam itu tuntutannya tidak sesederhana demikian. Juga bukan sekedar memenuhi kebutuhan zaman. Dimana zaman sekarang dalam menajalankan aktivitas setiap lini seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dikelola di dalam dan melalui organisasi atau komunitas. Ada hal –hal yang jauh lebih dari itu untuk disadari secara kolektif bahwa apa yang Hasan Al Banna sebutkan sebagai kewajiban para pemuda yang sedemikian banyak adalah patut dipenuhi. Secara tahapan sudah benar. Masing-masing individu yang memiliki kesadaran yang sama sudah mau mengkomunitas. Berkumpul lalu menyatu. Melebur dengan berbagai potensi. Berbagai karakter dan juga beragam pemikiran. Lalu mengapa ini saja tidak cukup?. Sebab, pada dasarnya mengkomunitas dalam kaitan dakwah adalah menyatu untuk memperbesar ‘momentum’ sebaran nilai-nilai ilahiah diantara para peserta komunitas dan objek kerja komunitas. Sebagaimana momentum dalam ilmu fisika, Momentum = massa x kecepatan. Begitulah kurang lebih apa yang harus jadi pesan kesadaran kolektif diantara kita. Pertama, kita sudah memperbesar “massa” yang dikumpulkan dari berbagai sisi pribadi peserta komunitas. Baik dari segi jumlah maupun potensi. Begitu pula pemikiran. Kaitan yang mendasari besaran massa itu tidak boleh menyatukan sisi-sisi cacat pribadi mereka. Tidak. Tidak boleh. Dan jangan sampai. Jika pun sampai terjadi, kolektifitas kebaikan yang harus lebih dominan. Agar ia sebagaimana dalam islam, kebaikan dapat menggugurkan keburukan-keburukan yang telah lampau. Kedua, menyulut ‘adrenalin’ sensitifitas peserta komunitas untuk bergerak cepat. Melesat dan melaju pada jalur yang benar. Kecepatan bersama inilah satu pendukung lain yang bisa memperbesar momentum tadi.
Momentum yang dimaksud di atas merupakan kerja-kerja konkrit peserta komunitas untuk mempertontonkan kepada Allah bahwa mereka berada pada pandangan dan langkah kerja yang benar. Benar karena sesuai dengan syariat Allah atau tidak dilarang dalam aturannya. Idealnya memandang dan bekerja sebagaimana Rasululllah saw memandangnya dan sebagaimana pekerjaannya. Maka, sebelum mengeksekusi dan dalam usaha mempersiapkan besaran momentum itu, ada tugas yang lebih diutamakan untuk dipersiapkan secara matang. Yaitu, membangun, menyusun dan menyepakati ‘narasi’ masa depan bersama. Dan dalam mempersiapkan narasi bersama setidaknya terdapat beberapa opsi dalam merencanakannya. Pertama, melatari pandangan narasinya dengan target komunitas. Menginventarisasi kebutuhannya lalu diambil seluruh atau sebagiannya sebagai sasaran komunitas dengan mempertimbangkan kekuatan massa tadi. Seberapa besar potensi komunitas, sebesar itulah kurang lebih yang bisa dieksekusi. Kedua, mendasarkan narasi masa depan bersama karena adanya salah satu lini bangunan besar bangsa peserta komunitas yang cacat dan tidak ada yang mau dan mampu menyelesaikannya. Lalu, secara gradual melakukan rebuilding (membangun kembali) corak bangunan yang seharusnya.
Bahwa setidaknya dua opsi di ataslah yang memberikan ruang bagi komunitas untuk bisa lebih leluasa menentukan narasi masa depan yang mengarahkan momentum gerakan mereka pada arah yang benar. Dan di balik ‘arsitektur’ narasi bersama itu akan selalu ada peserta yang menjadi aktor intelektual yang punya peran besar dibandingkan peserta lainnya. Namun, dalam hal ini ia tidak akan pernah melebihi peran hasil dari kerja-kerja bersama. Atau sekalipun terlihat ada yang merasa besar, kurang lebih itu cuma anggapan. Dan karenanya dalam komunitas kebaikan apapun sistem harus lebih besar dari salah seorang individu. Sehingga apa yang peserta komunitas bangun, ialah bukan aktor intelektual, tapi TIM INTELEKTUAL.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi