Bagaimana Ramadhanmu Saudaraku ; Palestina

Ramadhan adalah bulan yang dinanti siapapun umat muslim yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin. Seruan untuk menjalankan ibadah yang lebih banyak, pada dasarnya pula dibarengi dengan ganjaran yang lebih banyak dari bulan-bulan biasanya. Tapi kini ada satu perasaan yang belum terdefinisikan pada diriku. Juga ada pertanyaan yang diikuti dengan rasa kekhawatiranku yang harus punya jawaban. Walaupun aku tak lakukan apa-apa padamu. Pada kesehatanmu. PAda kelonggaran ekonomimu. Juga pada kemerdekaan yang kau rindukan itu.

Bukti yang membuatku tak melakukan apa-apa padamu selain doa, adalah aku baru tanyakan pada diriku apa kabarmu, saudaraku. Kabar yang mau ku ketahui karena antara aku dan kau kini sedang menjalani fase terbaik dalam silkus tahunan hidup kita. Ramdhan. Hari-hari anugerah yang akan segera berakhir ini, izinkan aku ketahui kabarmu. Setidaknya bisa kukabarkan pada saudara-saudaraku disini. Yang juga saudaramu. Kabar tentang kisah-kisah heroikmu melawan para penjajah. Kisah-kisah pilu yang anak-anakmu, juga isterimu tak perlu terlibat dalam perang, tapi jadi korban. Juga tentang kisah saudaramu yang kini telah di Syurga InsyaAllah.

Kabarmu kini sangat berarti bagi siapapun. Terlebih diriku. Aku, yang belum jadi apa-apa ini sangat membutuhkan asupan kisah-kisah heroisme yang akan melatari diriku dalam bertindak dalam keseharianku. Menjadikan cerita-ceritamu sebagai pembakar semangat saat ku sedang lelah. Penambah gelora jiwaku untuk konsisten dalam berjuang, sebagaimana dirimu. Meski ku di sini tidak sedang berperang secara fisik.

Aku malu padamu saudaraku, yang kemarin jum'at kau begitu rindu shalat jum'at di Masjid Suci Al Aqsa hingga kau memaksa masuk ke sana untuk menunaikan shalat meski Israel laknatullah mengekangmu. Kau bersama 180 ribu saudaramu itu, akhirnya bisa melepas kerinduan itu. Rindu shalat di masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Padahal jum'at pertama ramadhanmu di sana, saudara-saudaramu di Tepi Barat dilarang memasuki Masjid Al Aqsa sejak ia ingin shalat subuh di sana. Oleh sebab kau dan saudaramu itu aku tau shalat di sana 500 kali lebih afdhal dibandingkan shalat di masjid selainnya. Terlebih di bulan Ramadhan, insyaAllah akan dilipatgandakan. Sedang diriku di sini begitu mudah dan aman tanpa perlu diinterogasi oleh siapapun untuk datang ke masjid. Tanpa perlu melompati tembok rasial yang dibangun Israel itu dengan tinggi hampir 6 meter.

Beberapa waktu lalu hingga kini krisis listrik menimpa negerimu. Barangkali kau hanya ditemani batang-batang lilin saat kau bermunajat dengan Allah. Sekelilingmu gelap saat kau sahur dan berbuka. Tapi kuyakin kau lebih khusyu dengan begitu. Tapi disisi lain, krisis ini jadi musibah juga bagi saudara-saudaramu di rumah sakit. Ancaman kematian para pasien karena tidak berfungsinya alat-alat kesehatan yang menjaga agar pasien bisa lama bertahan hidup karena sakitnya. Kuyakin diantaranya ada korban kebiadaban israel. Unit-unit laboratorium yang jadi tempat vital untuk meramu obat-obatan untuk kesembuhan juga suplemen bagi para pasien di sana juga tidak berfungsi. HHhaah. Kini hidupnya mereka, saudaraku, juga saudaramu, murni Allah yang akan tentukan. Barangkalai tanpa perantara apapun. Tidak dengan alat kesehatan. Tidak dengan obat-obatan. Tidak pula dengan imunitas dirinya sendiri. Barangkali. Tapi biarlah ia Allah yang urus dan pada saat yang sama, aku dan juga kau sama-sama berdoa untuknya. Tidak. Aku saja yang bisa begitu. tidak pula kau. Kau bahkan lebih bisa membantunya. Atau pula bisa mengupayakan agar krisis ini segera berakhir. Kau yang lebih berhak atas janji cintaNya itu.

Awal-awal ramadhan yang lalu. Saudaramu di tahanan Israel. Tak luput dari kebencian dan kebiadaban zionis. Astaghfirullah. Mereka memaksa para tahanan untuk berjemur di tengah teriknya panas. Lebih panas dari di ruang tahanan yang bagiku pun sangat panas. Sekitar 40 derajat panas yang saudaramu rasakan di sana. Di dalam tahanan. Entah apa yang jadi alasan saudaramu itu di tahan. Kadang mereka memaksa para tahanan untuk menempati kamar-kamar besi "Container" yang suhunya begitu tinggi. Sangat menderita. Terlebih bukan diberikan kipas angin dan air yang bisa mendinginkan dirinya, malah ular berbisa yang disebar di ruangan-ruangan tahanan mereka. Menemani mereka tapi mengancam. Ya, mengancam keselamatan hidupnya. Biadab.

Saudaraku

Izinkan diriku untuk menangis. Bukan karena kau butuh kutangisi. Bukan karena kau butuh empati dariku. Tapi karena aku tak seperti dirimu. Tak seperti saudara-saudaramu yang kurindu itu. Kau dan saudara-saudaramu yang begitu bergelora jiwanya untuk terus berjuang karena Tuhan kita, Allah. Terus bergemuruh dirinya saat melawan tentara-tentara zionist. Yang kau juga saudaramu paling bersemangat beribadah dibalut rasa ketabahan akan janji pertolonganNya kelak. Meski kau terancam di sana. Dan aku yakin kau tidak butuh tangisanku. Barangkali juga saudara-saudaraku di sini. Tapi dengan yakin kau barangkali akan mengatakan padaku juga saudaraku di sini;
" Duhai saudaraku-saudaraku yang terlena dengan kenyamanan dan ketenangan!! Sambut seruan Tuhanmu segera. Aku tak perlu bantuanmu kecuali kau yang butuh membantuku. Karena kau boleh jadi tak punya ladang amal. Tak punya perbekalan yang cukup untuk menyambut saat-saat kematianmu kelak. Juga tak punya jiwa yang begitu rindu dengan syurga. Menanti-nanti saat janji itu ditunaikan Allah pada hambaNya yang patut. Atau kau diam saja hingga gerbang itu telah ku buka. Dan kau akan meilhatku dengan rasa cemburu. Karena aku dan saudaraku, juga sebagian saudaramu itu telah menginjakkan kaki di taman yang sama-sama kita impikan di dunia ini. Taman yang antara hamba dengan Tuhannya begitu dekat. Sedekat-dekatnya. Tak berhijab. Dan merona isinya. Syurga. Lantas kau hanya diam terpaku malu. Karena kau telah siakan waktumu untuk banyak berbekal, dahulu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi

Beda Antara Perlu Dan Cinta