Tidak Pernah Iri, Kecuali. . .

Demi Allah saya tidak pernah iri dengan mereka yang hidupnya tampak bermegah-megah dalam harta

memiliki aset tidak bergerak dimana-mana

memiliki deretan mobil mewah di garasinya

dan hidup dalam popularitas yang banjir pujian setiap waktunya


Aku hanya iri pada mereka yang secara kasat mata tampak orang-orang biasa saja

bukan seorang yang kaya harta apalagi punya kendaraan mewah ataukah lagi populer di mata manusia

bahkan tempat tinggal merekapun masih sewa

kendaraan mereka hanya roda dua yang sangat sederhana


tapi tampak sekali mereka menjalani setiap episode kehidupannya, yang dicari hanya kasih sayang Allah. yang dicari hanya ridho dari Rabbnya

mereka terima setiap rizki dariNya dengan penuh rasa syukur yang demikian mendalam

setiap rizki halal yang ia terima dari ikhtiarnya bekerja, kemudian diolah dengan penuh cinta oleh istrinya menjadi makanan halal, yang disuapi ke dalam mulut anak-anaknya

dan hanya kalimat Alhamdulillah yang terucap sesudahnya


waktu-waktunya tampak habis untuk berikhtiar dan berusaha dalam rangka menjemput rizki dari Allah, yang bahkan aktifitasnya sibuk mensyiarkan Al Quran kepada manusia

ia habiskan sebagian besar waktunya bersama keluarga untuk membaca, menghafal dan mentadaburi Al Quran

hanya kalam Allah yang terdengar meramaikan isi rumahnya, bukan suara bising berita atau drama sinetron di televisi

terasa sangat lapang saat berada di rumahnya

bukan karena minim perabotan dan nihil sofa. Bukan

tapi karena ada hati yang lapang di dalam dada


telah tertata hatinya untuk senantiassa bersyukur apapun yang Allah berikan kepadanya

selalu basah lisannya dengan Dzikir menyebut asmanya

di dalam pikirannya hanya ada prasangka baik kepada Rabbnya

bahwa hari ini dan esok, pasti selalu ada pertolongan Allah

meski tidak masuk dalam kalkulasi atau hitung-hitungan manusia


sampai saat ini, kita pikir kita yang Allah muliakan di muka bumi,

karena dicukupkan bahkan melimpah dalam harta


periksa lagi harta yang telah kita pergunakan

apakah dengan keberlimpahan harta yang kita miliki semakin mendekatkan diri kepada Allah sebagai Yang Maha Memberi kepada kita

jangan-jangan dengan harta kita ini, semakin jauh jarak kita kepada Allah


apakah akhir-akhir ini semakin tak punya waktu untuk shalat di awal waktu di masjid?

apakah akhir-akhir ini tak lagi sempat untuk membaca Al Quran dan berdzikir di waktu pagi dan petang?

apakah akhir-akhir ini semakin keras hati di dalam dada sehingga mengucap kalimat Alhamdulillah pun terasa demikian berat di lisan?

apakah akhir-akhir ini isi di dalam pikiran hanya penuh dengan hasrat dan hawa nafsu untuk terus menerus menumpuk-numpuk harta?

apakah akhir-akhir ini hati demikian kering dari kehangatan dan kenikmatan saat mengingat Allah dengan segala Rahmat dan Kasih Sayangnya yang tidak pernah putus mengalir kepada kita?

apakah akhir-akhir ini justru kemaksiatan dan dosa kita semakian menggunung tak satupun yang ingin disudahi?


jangan-jangan dengan harta yang melimpah ini, kita tidak sedang dimuliakan

naudzubillah, semoga bukan maksud Allah untuk menjebak dengan limpahan harta yang ia beri agar kita semakin terjerumus dalam dosa, 

yang pada akhirnya Allah hancurkan kita di ujungnya


Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi