Hati Tetap Tenang. Tak Peduli Sedang Sempit atau Lapang Harta

Kalaulah ketenangan dan kebahagiaan itu ada di dalam hati, 

mengapa kita masih saja berorientasi, meyakini dan meletakkannya letaknya pada harta yang melimpah, rumah yang megah dan kendaraan yang mewah?

hari-hari ini aku semakin terus diyakini kebenaran atau fakta itu

bahwa bahagia itu letaknya di hati yang dengannya hidup menjadi jauh lebih tenang tanpa khawatir atau risau terhadap masa depan yang berlebihan

ketenangan hati tidak dijajakkan atau dijual di dealer-dealer mobil mewah

ketenangan hati tidak include dalam value produk properti

dan ketenangan hati tidak melekat pada harta yang kita telah dan belum dimiliki

tapi ketenangan hati muncul pada saat kita tak lagi risau sama sekali tentang apapun yang sedang terjadi pada diri kita di dunia ini

sebab seluruhnya telah digantungkan pengurusannya kepada Rabbul Izzati, Allah azza wa jalla

Maka, untuk merasakan ketenangan hati secara berulang-ulang di setiap waktu

datangilah Sang Pemilik Hati (Allah)

bermesraanlah dengan terus menyebut asmaNya dengan berdzikir

berkomunikasilah dengan kalamNya yang sudah ia turunkan lewat RasulNya (Al Quran)

dan berkeluh kesahlah dengan berdoa padaNya di waktu-waktu Ia paling dekat dengan kita sebagai hambaNya

kalaulah semua orang meyakini kebenaran ini, maka tidak akan ada lagi yang risau seperti apa kondisi hari-hari ini

baik dalam keadaan ekonomi sempit atau ultrakaya sekalipun

Dalam artikel Irene Sarwadiningrum yang dimuat di harian Kompas pada Sabtu, 14 September 2024 kemarin,

ia menyebutkan bahwa tren gaya hidup orang-orang superkaya kini telah berubah. Mereka tidak lagi membelanjakan uangnya untuk membeli jet pribadi, tas mahal atau mobil-mobil mewah. 

Tapi justru mereka kini lebih menyukai membelanjakan uang mereka untuk membeli pengalaman dan mengejar makna hidup

"Pada era ini, kalangan superkaya justru ingin terlihat lebih membumi dan tak mencolok. Mereka mengoleksi pengalaman dengan mencoba jalan kaki di luar angkasa, banyak berlibur, serta berbelanja barang seni dan barang antik" (Kompas, 14 September 2024 hlm. 4)

tersenyum-senyum saya membaca artikel ini 😊

Apa sebab? sebab telah lama meyakini bahwa kita semua manusia di bumi fitrahnya ialah terus ingin mencari dan bisa menikmati kehidupan lewat pencarian makna-makna hidup

Sebagian kita, ada yang mencarinya lewat pekerjaan yang layak, jabatan yang tinggi, kekuasaan yang absolut, harta yang melimpah, status sosial yang tinggi, dan semua ukuran-ukuran kuantittatif pada aspek sosial atau ekonomi

tapi apa yang kian hari kian dirasakan setelah mendapatkannya? Kita akan tercengang pada keadaan bahwa bukanlah disitu makna hidup sesungguhnya

itulah mengapa, kita tidak akan pernah merasa puas meski kita telah sampai pada titik yang kita impikan itu. 

Terus begitu hidupnya berkutat pada mengulang-ulang urutan dan pola yang sama sampai-sampai begitu larut di dalamnya

dunia ini Allah ciptakan sudah sangat demikian adil, bahkan Maha Adil

Kalaulah kebahagiaan atau ketenangan itu dalam di dalam value-value produk mewah, rumah megah, istri cantik, harta melimpah

tentu mayoritas besar isi bumi adalah orang-orang paling malang nasibnya

Sebab hanya orang-orang ultrakaya yang "satu persen" saja yang bisa membeli kebahagiaan

tapi kan nyatanya tidak begitu dunia bekerja

maka benarlah keterangan yang disampaikan kepada kita melalui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di dalam haditsnya;

Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, kalaulah isi hati kita sudah adalah Allah Yang Maha kaya

yang demikian itulah kita selalu akan merasa cukup. 

Tak peduli lagi sedang dalam kesempitan atau kelapangan harta

kami tutup catatan ini dengan nasihat dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.” 


Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi