Tangisan dan Air Mata Kita

Renungan kali ini mengantarkan saya pada satu pemahaman yang memberikan begitu banyak makna pada tiap jenak-jenak kehidupan. Bahwa menangis adalah gejala fisik yang siapapun pernah mengalaminya. Dengan frekuensi yang berbeda-beda tentunya. Ia cenderung bergantung pada emosi seseorang. Dan bergantung pula pada kelembutan hati. Dan kelembutan hati bukanlah warisan biologis dalam hal ini. Ia hanya ada pada jiwa-jiwa yang santun berperilaku pada hati. Menjaga kebersihannya dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hikmah-hikmah baru tumbuh subur di taman hatinya. Sekalipun pada seseorang yang seolah berperilaku “kasar” pada hal-hal yang memang wajar untuk kasar. Sebagaimana Umar Ra misalnya. Tapi ia juga tidak seketika bersifat paradoksal pada perilaku seseorang yang lemah lembut. Walaupun seringnya demikian.
Saya, Anda dan Kita semua dapat dipastikan pernah menangis. Apapun penyebabnya. Bagi saya menangis adalah energy jiwa. Bentuk kesadaran diri paling asasi bahwa kita begitu lemah. Dan memang lemah. Saya menganggap bahwa menangis adalah pengendalian emosi, pikiran dan perilaku. Ia menjadi ukuran seberapa besar penghayatan diri atas fenomena-fenomena atau situasi sekitar bahkan emosional pribadi. Ia sangat privasi sifatnya. Tidak akan pernah ditunjukkan dengan sengaja terkecuali memang pada keadaan yang tidak bisa dikendalikan. Namun, menangis dalam kesunyian itulah letak keajaibannya. Ia seolah menyelesaikan segala macam persoalan. Besarnya. Rumitnya. Dan kebuntuan yang kita rasakan. Tapi sebenarnya jika ditelusuri, ia tidak menyelesaikan persoalan. Apa sebab? Sebab tangisan bukan tindakan penyelesaian. Tidak ada upaya di dalamnya. Tapi rahasianya terletak pada yang saya pahami saat ini. Yang baru saja kuyup di wajah dengan air mata. Ia (menangis), adalah cara atau upaya jiwa untuk memberikan jarak yang lebih proporsional terhadap persoalan. Masalah relative bertingkat memang. Dan punya kadarnya sendiri. Tapi banyak persoalan yang rumit diselesaikan, lebih karena kita pada posisi atau keadaan yang tidak siap jiwa. Kapasitas diri kita dalam keadaan yang tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan. Banyak sebab. Diantaranya adalah ilmu yang tidak memadai, emosional negatif, sudut pandang yang keliru, dan frame berfikir yang sempit. Itu sebab lahiriah pada manusia. Dalam sisi spiritual, ia tidak sedang bergantung sepenuhnya pada Dzat Yang Maha Penyayang. Sebab-sebab inilah yang seringnya jadi persoalan baru sebelum menghadapi persoalan yang sesungguhnya.
Sekali lagi, menangis yang saya pahami ialah hanya sebatas mempersiapkan jiwa kembali untuk lebih siap menghadapi persoalan. Membangkitkan kesadaran diri untuk berilmu lebih banyak. membangun nuansa emosional yang positif. Dan memberikan kesempatan pada pikiran kita untuk memandang persoalan dari sudut pandang yang lain. Dan dalam wilayah spiritual ia jadi sebab musabab dekatnya diri pada Rabbnya. Allah azza wa jalla. Sebab, ia yang sejatinya memberikan masalah, maka pemecahannya tidak lain hanya mengharap petunjukNya. Itu pada persoalan-persoalan yang memang butuh upaya penyelesaian. Ada banyak masalah yang sebenarnya secara fisik ia tidak terlalu nampak. Masalah-masalah yang lebih dibumbui egoisme, nafsu pengakuan dan penghormatan diri, dan kecemburuan. Nah, sumber ini yang saya pahami muncul karena menyempitkan jiwa di tengah lapangnya keadaan. Pemicunya kurang lebih itu. Meski hal remeh temeh kejadiannya. Sebenarnya, sebentar saja melapangkan jiwa, tidak akan pernah menjadi persoalan hal-hal yang demikian. Dan banyak orang terjebak disini. Karena banyak persoalan yang sejatinya bisa usai begitu saja tanpa perlu ada penyelesaian melainkan sedikit saja berupaya lebih melapangkan jiwa. Dan tidak perlu emosional. Namun, jika pada saat terjadinya tidak demikian adanya, maka menangis adalah labuhan jiwa yang paling tepat. Pada waktu yang lain. Maka, porsikan menjadi frekuensi yang rutin. Tergantung sekali dengan kebutuhan pribadi. Dan tergantung pada posisi kita yang seringnya dilanda persoalan, meski kita tidak pernah menghendakinya. Tapi kesadaran diri berada pada situasi dimana persoalan tidak bisa dikendalikan, maka tidak ada salahnya mengatur waktu rehat untuk menyendiri tanpa gangguan apapun. Bagi yang memiliki jabatan publik sepertinya relatif sangat membutuhkan. Disamping sebagai insan juga harus mengevaluasi segala bentuk perbuatan, dan menghisab diri lalu banyak-banyak bertobat di hadapan Allah.
Dalam keberkahan lain yang sama-sama kita harapkan ialah pada tangisan kita yang diberkahi Allah SWT. Dimana, selain ia sebagai pengusai persoalan kita secara lahiriah, maka dalam situasi spiritual kita hanya mengharapkan bahwa tangisan menjadi bagian yang tidak hampa dari penghambaan diri kepada Allah. Bahwa ketidakberdayaan diri di hadapan Allah itulah saat-saat kekerdilan paling asasi yang kita semua khawatir tidak sanggup menjalani setiap episode kehidupan sesuai dengan perintah Allah. Ketakutan itulah klimaks yang harus dirasakan bagi perindu ketenangan. Sebab Rasulullah saw bersabda dalam suatru riwayat; “ Ada dua jenis tetesan yang disukai oleh Allah, tetesan air mata karena takut padaNya dan tetesan darah karena perjuangan di JalanNya. Dan dalam riwayat lain yaitu saat Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw; "Adakah diantara pengikut-pengikutmu yang akan masuk surga tanpa hisab?", "Ia" jawab Nabi. "Dia adalah orang yang banyak menangis karena menyesali dosa-dosa yang telah ia lakukan."
Semoga tangisan ini semakin mendekatkan diri kepadaMu Duhai Rabb.
Komentar
Posting Komentar