sosio - ekonomi Amanat untuk Koperasi

Koperasi dan UKM di Indonesia telah menunjukkan bahwa usaha riil jauh lebih memiliki ketahanan kontinuitas usaha dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun. Sebab usaha-usaha sektor riil hampir tidak punya kaitan langsung dengan aktivitas moneter dalam perekonomian yang sarat dengan spekulasi dan motif-motif kepentingan perusahaan semata dengan menafikan variabel sosio-ekonomi dalam aktivitasnya.
Ketangguhan koperasi berhasil mengelaborasi citra usaha sektor riil kepada perekonomian secara nasional bahwa bagi siapapun yang menginginkan pendapatan yang likuid dan kontinu, maka usaha riil adalah pilihan tepat. Sebab ada kekhasan tersendiri dari bentuk usaha ini yang memberikan diferensiasi dari bentuk usaha-usaha lainnya. Yaitu pada asas yang dibangun dalam usaha. Asas kekeluargaan yang dianut. Dan setidaknya siapapun sepakat bahwa baru bentuk usaha pekoperasian yang telah menjalankan amanat pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Tetapi pada kasus tertentu, belakangan koperasi belum lagi bisa menunjukkan ‘giginya’ kepada masyarakat dalam membiayai usaha. Banyak sebab yang membuat para pedagang lebih memilih rentenir untuk memperoleh dana. Kemudahan yang ditawarkan rentenir seolah lebih meyakinkan ketimbang koperasi, terutama koperasi simpan pinjam. Dan ditambah entah apa penyebab jelasnya, komitmen stakeholders dalam mengembangkan perkoperasian nasional mengindikasikan semakin memudar. Semoga bukan karena motif keuntungan yang dijanjikan tidak menarik.
Setidaknya ada beberapa hal yang mmbuat koperasi tak lagi bisa unjuk gigi saat ini. Pertama, ketertarikan SDM yang mahir dalam manajerial usaha lebih memilih bergabung pada korporasi-korporasi yang ‘bermain’ di level usaha besar. Sekalipun ada SDM mengelola perkoperasian, boleh jadi SDM “sisa” yang belum punya kesempatan menempati di sektor usaha besar dan keuangan(perbankan dan lembaga keuangan non-bank). Dan boleh jadi tidak ada daftar tunggu (waiting list) SDM yang mau memanaje koperasi secara khusus dan kontinu. Sehingga ada kesan bahwa SDM yang mengelola sekalipun, ternyata diduga ada penyimpangan (moral hazard) yang hanya cari-cari proyek semata. Kedua, sulitnya akses modal untuk mengelola perkoperasian. Baik akses modal untuk mendirikan usaha koperasi maupun untuk melakukan ekspansi usaha. Kedepan akan lebih memudar tidak hanya dari komitmennya, tetapi memudar untungnya. Dan panutan perekonomian
Menyadari bahwa koperasi saat ini belum lagi menunjukkan ‘taringnya’ untuk berkontribusi besar pada perkonomia
Komentar
Posting Komentar