Setelah Nonton "Hayya" Lalu Apa?
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2914877/original/001492900_1568794123-Hayya1.jpg)
Pertanyaan itu sengaja saya muat sebagai judul. Karena pertanyaan itu pulalah yang muncul persis setelah keluar studio 2 Cinema XXI salah satu mall di Bogor. Film yang merupakan sekuel dari The Power of Love garapan Jastis Arimba ini berhasil bikin saya nambah beban pikiran, padahal beban berat badan aja udah ngga sanggup ditahan :D.
Keluar studio perasaan bercampur-campur, tentu karena pengaruh ragam adegan yang diperankan para pemeran film, tidak terkecuali peran jenaka Ricis yang juga warnai film ini menjadi tidak melulu dalam suasana tegang dan sedih. Saya mau keluar dari perlu tidaknya mengulas bagus tidak film ini, karena bukan preferensi saya. Sebagai sufi (suka film) tentu saya ada beberapa part yang menurut saya mungkin bisa lebih baik, tapi saya anggap minor karena tidak lantas jadi "merusak" keseluruhan film yang utuh sampai-sampai pesan yang diharapkan ditangkap penonton menjadi nihil. Tidak, saya sebagai penonton menangkap betul pesannya apa.
Sebagai penonoton, menit per menit saya ikuti dan berusaha fokus pada peran Hayya. Ini bocoran dikit ya..he, scene yang paling membekas bagi saya adalah sosok Hayya yang dalam film ini sangat minim sekali mengeluarkan suara apalagi bicara. Hanya sesekali berbicara saat di camp, menangis dan menyanyi. Tapi melihat gestur gadis kecil ini setidak-tidaknya kita menangkap berkecamuknya perasaan di dalam dadanya. Semakin sakit perasaannya, maka semakin tersengal nafasnya. Saya konsen sekali bahwa diusianya, adalah saat-saat dimana sangat membutuhkan pendampingan dan bimbingan dari kedua orangtuanya, abi dan uminya. Kehadiran Abi yang semestinya menjadi sosok idola dan pahlawan baginya, serta sosok umi yang memberikan kasih sayang yang banyak dalam mendampingi tumbuh kembang menjadi dewasa. Tapi nyatanya tidak demikian. Ia harus lewati hidup di usianya berbeda dari sejawatnya dimana-mana, termasuk disini, di Indonesia. Saya tidak punya gambaran definitif seperti apa perasaannya, karena memori bawah sadar saya tidak pernah menyimpan dan merasakan hidup tumbuh dewasa tanpa pendampingan dari kedua orangtua. Pada saat scene Hayya lari dari penjagaan pengasuhnya, Ricis, lalu pergi ke sebuah taman dan melihat keluarga yang lengkap ayah ibu dan anaknya sedang suka cita bercengkrama, itu adalah situasi tidak terperi yang akan ia hadapi sepanjang hidupnya. Hayya hanya bisa memandang dengan perasaan iri bercampur sedih, hingga pecahlah tangisnya. Hayya memang tokoh fiksi, yang entah alur cerita dalam film soal pelariannya dari tanah Palestina ke Indonesia pernah terjadi atau tidak, saya tidak tau. Tapi sosok "Hayya" sesungguhnya di tanah Palestina sana, ada dan banyak. Dalam posisi yang sama, sebagai korban perang dan sebagai yatim piatu sekaligus. Tanpa pernah tau betul sebab sesungguhnya apa, di tengah kompleksnyanya sejarah perselisihan perebutan kota suci Yerusalem bagi tiga agama Abrahamik, meminjam istilah Simon Sebag Montefiore, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.
Sebagaimana pembuat dan mereka yang terlibat dalam proses produksi film ini, saya yakin pesan yang hendak mereka sampaikan ialah agar penonton khususnya dan publik umumnya, adalah agar terus merawat ingatan dan perhatian terhadap konflik Palestina, terutama kepada kelompok korban yang paling rentan, yakni anak-anak. Seperti kita ketahui, dalam reportnya UNICEF November 2018 lalu, tercatat bahwa 2,3 juta jiwa dari Total 4,8 juta jiwa populasi rakyat Palestina adalah anak-anak, yang artinya hampir capai 48% dari total populasi. 1,3 juta jiwa berada di Tebi Barat (West Bank) dan 1 juta jiwa lainnya berada di Jalur Gaza. Di Tengah serangan agresi militer bertubi-tubi itu, rata-rata angka kematian bayi rentang usia 0-11 bulan adalah 18 per 1000 kelahiran hidup. Kemudian, 11 per 1000 untuk usia bayi baru lahir rentang usia 0-28 hari, 22 jiwa per 1000 untuk usia anak dibawah 5 tahun. Data PBB lainnya (2018) menyebutkan 20.000-30.000 anak Palestina berstatus yatim, yang artinya sangat membutuhkan penghidupan dan pendampingan dari orangtua asuh sebagai pengganti orangtuanya, meng-healing trauma yang mereka alami, terlebih mereka kini sebagian besar hidup di camp-camp pengungsian, sebab rumahnya telah hancur akibat agresi Zionis. Belum lagi isu lainnya, kesehatan anak seperti 1 dari 4 anak dibawah usia 5 tahun menderita anemia (21,5% di West Bank, 30,7% di Gaza), kekurangan vitamin, hingga hanya 40% bayi yang baru lahir telah mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan.
Saya sebenarnya tidak perlu-perlu amat sajikan data di atas, karena kesadaran bersama untuk peduli terhadap rakyat Palestina saat ini sudah menjadi isu publik dan negara sudah berkomitmen menjadi bagian dari perjuangan rakyat Palestina merebut kembali hak kemerdekaannya. Oleh sebab data itu berseliweran dimana-mana, accessible dan terbuka dari berbagai lembaga kemanusiaan dan PBB. Tapi menjadi tidak bermakna data-data itu, kalau sebatas tau lalu dikutip ulang di postingan media sosial kita, dan berakhir menjadi arsip. Yang mana tahun-tahun berikutnya, kita akan melihat rilis data yang serupa dari sumber yang sama, dan kita melakukan hal yang sama pula, baca, tau, posting ulang dan arsip. Begitu terus berulang-ulang. Yang sangat berbahaya, apabila semakin kesini perlahan kita seolah mulai menikmati konflik ini. Apa sebab? Sebab, sering kita sebatas menjadikannya peristiwa yang menjadi bahan yang bisa dimuat dalam berita, dieksploitasi untuk menggalang dana dan dijadikannya ramai-ramai sekedar tontonan. Syukur-syukur semoga tidak sampai sebagai hiburan. Terlalu.
Saya coba urai dan jawab judul tulisan yang saya buat ini. Disamping pertanyaan krusial juga tentang apakah Palestina akan merdeka pada akhirnya, di tengah latar belakang sejarah "klaim-klaim" tiga agama dalam upaya perebutan Haram al Syarief. Seperti kita ketahui, bahwa 1000 tahun Yerusalem secara eksklusif ada dalam sejarah Yahudi, 400 tahun bagi Kristen dan 1.300 tahun bagi Islam. Saya agaknya yakin, bahwa tanah Palestina adalah medan peperangan abadi hingga hari akhir, oleh sebab sejarawan Simon Sebag Montefiore dalam epilog bukunya, Jerusalem; The Biography, juga mengkonfirmasi hal yang sama, bahwa tak satupun dari ketiga agama itu pernah mendapatkan Yerusalem tanpa pedang, mangonel1 atau howitzer2. Artinya, memang begitulah sejarahnya. Khususnya bagi saya sebagai muslim membaca sejarah penaklukan Islam di Yerusalem sejak era Khalifah Umar, perang Salib oleh Shalahuddin Al Ayyubi(Saladin bagi istilah lain), hingga gerakan perlawanan sekarang, Intifada I dan II oleh pemuda-pemuda Palestina. Tidak berlebihan bagi saya menganggap bahwa Yerusalem adalah hiposentrum di bumi yang menyebabkan "episentrum" di seluruh permukaan bumi. Menjalar ke seluruh sudut-sudut kota dunia. Mengguncang jiwa-jiwa di belahan bumi manapun yang rindu "berintim-intim" dengan Tuhan(dalam definisinya masing-masing). Bagi yang muslim itu adalah tanah suci, bagi yang lain itu juga adalah tanah yang dijanjikan bahkan kampung halaman. Saya belum cukup pengetahuan apakah perlu tanah ini menjadi model wilayah bagi setidaknya ketiga agama, mencapai resolusi atas konflik terestrial untuk hidup bersama penuh damai berdampingan berbagi tanah dan blok serta saling bertoleransi. Pada saat yang sama Saya juga juga belum cukup pengetahuan apakah perlu konflik ini diakhiri, sebab beberapa keterangan menyatakan bahwa medan peperangan ini memang sengaja diciptakan Tuhan, sebagai ujian kemanusiaan, sehingga biar Tuhan sendiri yang akhiri dengan caranya sendiri. Lalu apa? Ya, saya coba membatasi diri sebatas menjawab judul tulisan saya ini. Bahwa, saya mau, semoga juga rekan pembaca sekalian, untuk mengakhiri adanya korban-korban baru di kelompok anak-anak akibat peperangan panjang ini, dengan cara-cara dan kemampuan kita sebagai manusia yang punya nurani kemanusiaan. Biarlah mereka, yang dewasa, menentukan nasibnya sendiri, untuk keyakinan yang sudah mereka yakini.
Selamat menonton, dan mari peduli-bantu anak-anak Palestina untuk masa depan mereka yang masih panjang. Agar setiap saat mereka keluar dipagi hari dari bilik-bilik dan kemah pengungsiannya, bisa tetap bermandikan cahaya mentari hingga menjemput masa keemasaannya menjadi manusia sejati. Seperti kita, disini.
Sekian
1 dari bahasa Latin manganon, yang berarti "mesin
peperangan") adalah sejenis pelontar atau mesin kepung pada Abad
Pertengahan yang digunakan untuk melontarkan batu untuk menghancurkan dinding
atau bangunan (Wikipedia)
2 adalah salah satu bentuk artileri medan.
Nama Howitzer berasal dari kata dalam bahasa Ceko houfnice (diturunkan dari
bahasa Jerman: haubitze dan bahasa Belanda:houwitser), meriam dari abad ke-15
yang digunakan oleh suku Hussites dalam perang Hussite. (Wikipedia)
Komentar
Posting Komentar