Konsep Dasar Akrual Menurut Ahli-Ahli Akuntansi Syariah
Sebenarnya peredabatan penggunaan dasar akrual atau dengan dasar kas pada konsep pengakuan pendapatan atau transaksi entitas syariah sudah muncul ke permukaan setelah terbitnya PSAK 59 tentang Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh IAI. Namun, adanya PSAK Syariah tersebut masih tetap mendapat kritik dari beberapa ahli akuntansi syariah di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, materi kritik ditujukan khususnya terhadap konsep dasar akrual yang dianggap sarat dengan turunan nilai-nilai kapitalisme dalam kerangka konseptual (conceptual framework) akuntansi konvensional. Hal tersebut dinilai sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi dalam Islam.
Sebut saja Harahap (2008) yang mengataklan bahwa tatanan sosial, ekonomi, dan bisnis yang membentuk PSAK Syariah belum berasal dari tatanan sosial, ekonomi dan bisnis yang Islami tetapi hasil ‘cangkokan’ ke dalam akuntansi konvensional. Hal ini mengakibatkan dualisme. Dualisme ini terjadi karena kerangka konsep dalam penyusunan PSAK filosofinya bukan merupakan conceptual framework yang sebenarnya bahkan masih mengacu pada sistem konvensional.
Kritik secara khusus ditujukan terhadap hadirnya PSAK Syariah yang dinilai bahwa asumsi dasar yang digunakan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) sama dengan konsep akuntansi keuangan secara umum, yakni konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual. Meskipun pengakuan pendapatan untuk tujuan bagi hasil digunakan dengan dasar kas. Karena sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 14 Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Lembaga Keuangan Syariah.
Menurut Adnan (2005), aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan, beban, laba, dan rugi. Konsep pengakuan akan berpengaruh banyak dalam menentukan aktiva, pasiva, dan laba rugi operasi perusahaan. Dalam hal ini, aspek pengakuan yang dipakai IAI dan AAOIFI adalah basis akrual.
Dari pihak yang tidak setuju diterapkannya asumsi dasar basis akrual dan memilih basis kas beralasan bahwa apa yang terjadi besok adalah ghoib sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank. Sri Nurhayati dan Wasilah (2008) mengatakan bahwa pihak yang tidak setuju juga beralasan bahwa konsep akrual basis tidak dapat dipakai sebagai cara menghitung zakat mengingat zakat harus dibayar berdasarkan kekayaan yang telah diterima manfaatnya (menurut mazhab Maliki) dan juga, menurut mazhab Syafi’i, bagi hasil atas mudharabah didasarkan atas keuntungan kas yang diterima.
Muhammad (2002) yang dikutip Surya (2011) mengatakan bahwa seharusnya menerapkan basis kas karena dalam perbankan syariah menganut sistem bagi hasil yang kemudian dikenal sebagai bank bagi hasil. Di bank bagi hasil hanya membukukan pendapatan yang telah diterima saja dan mengabaikan pendapatan yang akan diterima.
Menurut Adnan (2005), berdasarkan praktek beberapa bank syariah, terjadi sebuah penyimpangan dalam pelaksanaan basis akrual. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau biaya, tetapi dasar kas dipakai untuk pengakuan pendapatan dan laba. Argumentasi yang dijadikan alasan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan konservatisme.
Mulawarman (2008) yang dikutip Surya (2011) menyarankan untuk mengubah basis akrual menjadi sinergi basis Akrual dan kas. Khusus basis akrual beliau menyatakan asumsi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan akhlak syariah bahkan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah. Dasar akrual tidak sepenuhnya dapat digunakan secara langsung. Seperti diketahui bahwa prinsip akrual melakukan pencatatan fakta (merekam arus kas masa kini), potensi (merekam arus kas masa depan) dan konsekuensi (merekam arus kas masa lalu). Khusus mengenai pencatatan potensi menggunakan prinsip present value yang sarat dengan penghitungan bernuansa riba dan gharar.
Surya (2011) mengatakan bahwa para ahli akuntansi Islam yang menentang basis akrual berdalil dengan menggunakan QS Lukman ayat 34 yang menyatakan bahwa apa yang terjadi esok dan mendatang adalah ghoib. Sehingga tidak boleh pendapatan belum pasti dicatat sebagai penghasilan. Dengan diterapkannya basis akrual dalam akuntansi Islam, maka akan terjadi pendapatan perseroan lebih besar tetapi bagi hasil yang diperoleh kecil. Dengan demikian, dalam penggunaan basis akrual terdapat unsur Taghrir dan pihak yang paling mungkin dirugikan adalah nasabah yang masih awam.
Menurut Harahap (2008), dalam akuntansi isu basis akrual dan kas ini sudah lama dibicarakan dan pada akhirnya yang diterapkan adalah dominan dasar akrual (accrual basis) dan untuk transaksi tertentu dapat menggunakan dasar kas (accrual basis). Biasanya dasar kas itu digunakan jika kemungkinan realisasi dari transaksi itu masih bersifat fifty-fifty atau “remote” agak jauh kemungkinannya. Namun diluar mainstream pemikiran akuntansi sebutlah misalnya T.A. Lee atau Thomas, mereka menganjurkan penerapan dasar kas atau bebas alokasi sehingga akuntansi lebih bersifat sains dan pasti tidak ada alokasi, taksiran. penyusutan, dan berbagai taksiran penyisihan. Selanjutnya Harahap (2008) menjelaskan bahwa bila dasar akrual diterapkan dalam akuntansi bank syariah bisa dinilai kurang riel dan bisa mengelabui nasabah karena menempatkan pendapatan yang belum direalisasikan sebagai pendapatan. Hal ini bisa menyulitkan pihak bank jika nantinya pendapatan itu tidak bisa direalisasikan.
Harahap (2004) menjelaskan bahwa dasar akrual tidak sepenuhnya berlaku bagi bagi entitas syariah karena khusus dalam perhitungan pembagian hasil laporan keuangan menggunakan dasar kas. Konsep ini merupakan tuntutan dari praktisi agar kewajiban untuk pembagian hasil yang akan dibayarkan kepada pemilik dana tidak lebih bayar (overpayment) seandainya pada akhirnya penerima dana pembiayaan tidak membayar kewjiban bagi hasilnya.
Menurut Zainulbahar Noor (2005) yang dikutip Surya (2011), otoritas perbankan telah memberikan loop hole bagi kemungkinan terjadinya korupsi di bank syariah dengan ditetapkannya basis akrual untuk mengganti basis kas yang sebelumnya telah di praktekan oleh perbankan syariah. Hal ini dimulai dalam bentuk pempublikasian neraca dan laba rugi akhir tahun yang bersifat window dressing.
Menurut Rais (2002) yang dikutip Surya (2011) apabila kita melakukan taqyid al ayat (berkaitan antar ayat Al-Quran) surat Al-Baqarah ayat 282 dengan surat Lukman ayat 34, maka kita akan melihat indikasi bahwa basis akrual (khususnya pendapatan) tidak diperkenankan. Untuk memperkuat hal itu, sebagian ulama menyatakan bahwa perintah QS Al-Baqarah ayat 282 hanya sebatas mencatat transaksi bukan mengakui perolehannya. Pengakuan perolehan, baru dilakukan pada saat diterimanya dana (kas). Ketegasan larangan mengakrualkan pos pendapatan, sepertinya tidak berlaku pada sisi biaya.
Rais (2002) yang dikutip Surya (2011) juga menyatakan basis kas sangat tepat bila digunakan untuk perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil. Bahkan menurutnya, tidak hanya untuk bagi hasil tetapi juga untuk pendapatan jual beli dan sewa. Selanjutnya beliau juga menjelaskan bahwa penerapan basis kas dapat menutupi lubang-lubang manipulasi yang dapat dilakukan manajemen. Di samping itu juga, nasabah dapat mengetahui dan menilai secara riel pendapatan bank karena pendapatan yang dicatat sebesar yang terealisasi.
Dari beragamnya pendapat para ahli akuntansi syariah di Indonesia, maka sebenarnya tidak serta bahwa dasar akrual sebagai dasar pengakuan pendapatan dapat menimbulkan pengelabuan informasi keuangan entitas syariah, peluang adanya rekayasa atau manajemen laba. window dressing, dan kejahatan akuntansi lainnya. Sebab, dasar akrual sebagai konsep pengakuan transaksi adalah suatu hal sedang kejahatan akuntansi yang telah terjadi merupakan hal lain. Meskipun dasar akrual sering dijustifikasi sebagai penyebab kejahatan akuntansi tersebut.
Oleh sebab itu, adalah hal yang paling penting adalah mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan dasar akrual menurut akuntansi syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Setelah itu dipaparkan batasan-batasan dasar akrual dalam pengakuan transaksi atau peristiwa ekonomi lainnya. Namun sebenarnya jika sampai tidak ditemukan batasan-batasan yang jelas yang sesuai syariah, dan juga untuk menghindari adanya unsur riba maupun gharar dalam pengakuan pendapatan, maka dapat digunakan pendekatan konservatisme (kehati-hatian) yang hal inipun dianjurkan oleh Islam.
Sebut saja Harahap (2008) yang mengataklan bahwa tatanan sosial, ekonomi, dan bisnis yang membentuk PSAK Syariah belum berasal dari tatanan sosial, ekonomi dan bisnis yang Islami tetapi hasil ‘cangkokan’ ke dalam akuntansi konvensional. Hal ini mengakibatkan dualisme. Dualisme ini terjadi karena kerangka konsep dalam penyusunan PSAK filosofinya bukan merupakan conceptual framework yang sebenarnya bahkan masih mengacu pada sistem konvensional.
Kritik secara khusus ditujukan terhadap hadirnya PSAK Syariah yang dinilai bahwa asumsi dasar yang digunakan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) sama dengan konsep akuntansi keuangan secara umum, yakni konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual. Meskipun pengakuan pendapatan untuk tujuan bagi hasil digunakan dengan dasar kas. Karena sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 14 Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Lembaga Keuangan Syariah.
Menurut Adnan (2005), aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan, beban, laba, dan rugi. Konsep pengakuan akan berpengaruh banyak dalam menentukan aktiva, pasiva, dan laba rugi operasi perusahaan. Dalam hal ini, aspek pengakuan yang dipakai IAI dan AAOIFI adalah basis akrual.
Dari pihak yang tidak setuju diterapkannya asumsi dasar basis akrual dan memilih basis kas beralasan bahwa apa yang terjadi besok adalah ghoib sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank. Sri Nurhayati dan Wasilah (2008) mengatakan bahwa pihak yang tidak setuju juga beralasan bahwa konsep akrual basis tidak dapat dipakai sebagai cara menghitung zakat mengingat zakat harus dibayar berdasarkan kekayaan yang telah diterima manfaatnya (menurut mazhab Maliki) dan juga, menurut mazhab Syafi’i, bagi hasil atas mudharabah didasarkan atas keuntungan kas yang diterima.
Muhammad (2002) yang dikutip Surya (2011) mengatakan bahwa seharusnya menerapkan basis kas karena dalam perbankan syariah menganut sistem bagi hasil yang kemudian dikenal sebagai bank bagi hasil. Di bank bagi hasil hanya membukukan pendapatan yang telah diterima saja dan mengabaikan pendapatan yang akan diterima.
Menurut Adnan (2005), berdasarkan praktek beberapa bank syariah, terjadi sebuah penyimpangan dalam pelaksanaan basis akrual. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau biaya, tetapi dasar kas dipakai untuk pengakuan pendapatan dan laba. Argumentasi yang dijadikan alasan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan konservatisme.
Mulawarman (2008) yang dikutip Surya (2011) menyarankan untuk mengubah basis akrual menjadi sinergi basis Akrual dan kas. Khusus basis akrual beliau menyatakan asumsi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan akhlak syariah bahkan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah. Dasar akrual tidak sepenuhnya dapat digunakan secara langsung. Seperti diketahui bahwa prinsip akrual melakukan pencatatan fakta (merekam arus kas masa kini), potensi (merekam arus kas masa depan) dan konsekuensi (merekam arus kas masa lalu). Khusus mengenai pencatatan potensi menggunakan prinsip present value yang sarat dengan penghitungan bernuansa riba dan gharar.
Surya (2011) mengatakan bahwa para ahli akuntansi Islam yang menentang basis akrual berdalil dengan menggunakan QS Lukman ayat 34 yang menyatakan bahwa apa yang terjadi esok dan mendatang adalah ghoib. Sehingga tidak boleh pendapatan belum pasti dicatat sebagai penghasilan. Dengan diterapkannya basis akrual dalam akuntansi Islam, maka akan terjadi pendapatan perseroan lebih besar tetapi bagi hasil yang diperoleh kecil. Dengan demikian, dalam penggunaan basis akrual terdapat unsur Taghrir dan pihak yang paling mungkin dirugikan adalah nasabah yang masih awam.
Menurut Harahap (2008), dalam akuntansi isu basis akrual dan kas ini sudah lama dibicarakan dan pada akhirnya yang diterapkan adalah dominan dasar akrual (accrual basis) dan untuk transaksi tertentu dapat menggunakan dasar kas (accrual basis). Biasanya dasar kas itu digunakan jika kemungkinan realisasi dari transaksi itu masih bersifat fifty-fifty atau “remote” agak jauh kemungkinannya. Namun diluar mainstream pemikiran akuntansi sebutlah misalnya T.A. Lee atau Thomas, mereka menganjurkan penerapan dasar kas atau bebas alokasi sehingga akuntansi lebih bersifat sains dan pasti tidak ada alokasi, taksiran. penyusutan, dan berbagai taksiran penyisihan. Selanjutnya Harahap (2008) menjelaskan bahwa bila dasar akrual diterapkan dalam akuntansi bank syariah bisa dinilai kurang riel dan bisa mengelabui nasabah karena menempatkan pendapatan yang belum direalisasikan sebagai pendapatan. Hal ini bisa menyulitkan pihak bank jika nantinya pendapatan itu tidak bisa direalisasikan.
Harahap (2004) menjelaskan bahwa dasar akrual tidak sepenuhnya berlaku bagi bagi entitas syariah karena khusus dalam perhitungan pembagian hasil laporan keuangan menggunakan dasar kas. Konsep ini merupakan tuntutan dari praktisi agar kewajiban untuk pembagian hasil yang akan dibayarkan kepada pemilik dana tidak lebih bayar (overpayment) seandainya pada akhirnya penerima dana pembiayaan tidak membayar kewjiban bagi hasilnya.
Menurut Zainulbahar Noor (2005) yang dikutip Surya (2011), otoritas perbankan telah memberikan loop hole bagi kemungkinan terjadinya korupsi di bank syariah dengan ditetapkannya basis akrual untuk mengganti basis kas yang sebelumnya telah di praktekan oleh perbankan syariah. Hal ini dimulai dalam bentuk pempublikasian neraca dan laba rugi akhir tahun yang bersifat window dressing.
Menurut Rais (2002) yang dikutip Surya (2011) apabila kita melakukan taqyid al ayat (berkaitan antar ayat Al-Quran) surat Al-Baqarah ayat 282 dengan surat Lukman ayat 34, maka kita akan melihat indikasi bahwa basis akrual (khususnya pendapatan) tidak diperkenankan. Untuk memperkuat hal itu, sebagian ulama menyatakan bahwa perintah QS Al-Baqarah ayat 282 hanya sebatas mencatat transaksi bukan mengakui perolehannya. Pengakuan perolehan, baru dilakukan pada saat diterimanya dana (kas). Ketegasan larangan mengakrualkan pos pendapatan, sepertinya tidak berlaku pada sisi biaya.
Rais (2002) yang dikutip Surya (2011) juga menyatakan basis kas sangat tepat bila digunakan untuk perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil. Bahkan menurutnya, tidak hanya untuk bagi hasil tetapi juga untuk pendapatan jual beli dan sewa. Selanjutnya beliau juga menjelaskan bahwa penerapan basis kas dapat menutupi lubang-lubang manipulasi yang dapat dilakukan manajemen. Di samping itu juga, nasabah dapat mengetahui dan menilai secara riel pendapatan bank karena pendapatan yang dicatat sebesar yang terealisasi.
Dari beragamnya pendapat para ahli akuntansi syariah di Indonesia, maka sebenarnya tidak serta bahwa dasar akrual sebagai dasar pengakuan pendapatan dapat menimbulkan pengelabuan informasi keuangan entitas syariah, peluang adanya rekayasa atau manajemen laba. window dressing, dan kejahatan akuntansi lainnya. Sebab, dasar akrual sebagai konsep pengakuan transaksi adalah suatu hal sedang kejahatan akuntansi yang telah terjadi merupakan hal lain. Meskipun dasar akrual sering dijustifikasi sebagai penyebab kejahatan akuntansi tersebut.
Oleh sebab itu, adalah hal yang paling penting adalah mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan dasar akrual menurut akuntansi syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Setelah itu dipaparkan batasan-batasan dasar akrual dalam pengakuan transaksi atau peristiwa ekonomi lainnya. Namun sebenarnya jika sampai tidak ditemukan batasan-batasan yang jelas yang sesuai syariah, dan juga untuk menghindari adanya unsur riba maupun gharar dalam pengakuan pendapatan, maka dapat digunakan pendekatan konservatisme (kehati-hatian) yang hal inipun dianjurkan oleh Islam.
Komentar
Posting Komentar