Dompet Zakat Kita; Dompet Mereka

Barangkali Anda bingung. Siapa yang saya maksud “ mereka” dan siapa pula yang saya maksud “Kita” dalam judul di atas. “Kita” dalam hal ini juga tidak terlalu definitif. Meski dalam bahasa indonesia pun setidaknya kosakata “Kita” ialah mewakili Saya, Anda dan Kita semua yang sedang membaca pesan moral ini. Dalam hal ini bukan bermaksud bertele-tele dengan tidak menyampaikan langsung pada inti pesan yang mau saya sampaikan kepada Anda. Tapi kita, akan jauh lebih menyadari apa yang mesti dilakukan dengan profil diri kita hari ini. Begitu…:)

“Mereka”, yang saya maksud adalah orang yang mungkin sangat kita kenal. Atau pernah kenal. Atau juga selalu melihatnya tiap kali kita bepergian ke sekolah, ke kantor, ke mall, dan juga ke pasar bagi Anda yang ibu rumah tangga. Mereka yang tinggal di sekitar Anda. Di 1 – 2 kilometer tidak jauh dari apartemen Anda. Rumah Anda. Kantor Anda dan sekolah Anda. Mereka adalah kaum papa, orang miskin, dan fakir. Mereka itu sejatinya tidak mau dalam kondisi yang demikian. Siapa yang kemudian, di tengah gemerlapan kesenangan dunia, mau secara “konsisten” dalam situasi serba kesulitan. Tapi kita dalam hal ini pun bebas berpendapat. Silahkan berbicara, bahwa mereka yang dalam kondisi fakir karena memang ulah mereka sendiri yang malas bekerja, sejak mudanya berleha-leha, atau barangkali memang tidak tekun berdoa. Ya. Silahkan saja bagi Anda yang berbicara demikian. Saya sendiri pun punya pendapat. Tapi boleh jadi berbeda dengan apa yang Anda pikirkan.

Dalam hal ini saya mau sedikit sok tau tentang siapa kita. Untuk apa kita hidup. Dan seperti apa kita kelak di kemudian hari. Saya, Anda dan kita semua hanyalah seonggok tulang yang terbalut daging yang terbuat dari “air yang hina” yang dibenihkan dan dibuahi oleh orangtua kita. Kemudian, kita dilahirkan hanya untuk selalu membersihkan hati tiap waktu, dan menyembah pada Tuhan. Dan kemudian kita akan menemui pada suatu saat telah usailah rentang masa hidup kita untuk selalu membersihkan hati dan berkonsistensi dalam menyembah Tuhan untuk siap dinilai seberapa bersih hati yang kita miliki dan seberapa baik kualitas penyembahan kita kepada Tuhan. Itu saja.

Pada saat yang lain kita yang telah mengetahui seperti apa profil asasi diri kita sebagai manusia, maka pertanyaan asasi pula yang harus kita jawab dengan ketulusan hati dan keihlasan tindakan nyata. Tentang keadaan mereka yang kini fakir, miskin, dan papa. Tidak bisa berbuat banyak selain berharap-harap rezeki dari Tuhan. Persoalannya adalah mereka tidak begitu tau bagaimana menjemputnya dan dari tangan siapa yang perantaranya. Lantas? Pertanyaan mendasar. Selidiki nurani kita sekarang! Apakah kita dengan teganya membiarkan mereka berhari-hari dalam keadaan lapar, tidak layak pendidikan dan beratapkan jembatan sebagai tempat peneduhan…? Saya yakin kita semua akan menjawab, Tidak. Oleh sebab anugerah asasi kita sebagai manusia juga sedikitnya bisa merasakan bagaimana jika kita dalam kondisi demikian. Sekarang apa yang bisa lakukan.?? Itu adalah pertanyaan selanjutnya yang mesti juga kita jawab setelah menjawab pertanyaan nurani. Ialah dengan jawaban tindakan. Bagi kita yang muslim (orang yang menganut agama islam), terdapat perintah Allah SWT yang mewajibkan kita untuk memporsikan sebagian dari harta yang kita miliki untuk diberikan secara sukarela kepada mereka, yang saya definisikan “mereka” sebagaimana di atas. Ialah fakir, miskin, kaum papa, dan orang yang dalam kesulitan. Yang dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat 103 menjelaskan bahwa “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Maka, dengan berzakat kita bisa menunaikan tugas asasi kita di dunia. Dengan zakat kita bisa menuntaskan pertanyaan-pertanyaan mereka yang dhuafa, yang selalu mereka risaukan tiap pagi. Akankah pagi hari ini ada yang bisa dimakan? Bisakah anaknya tetap tenang meski ibunya yang fakir berkata,” Nak, hari ini kita harus berpuasa lagi, nanti malam ayahmu akan pulang membawa makanan.” Sembari gerimis hati sang ibu yang tidak mampu pula kelopak menahan deras air matanya karena tidak yakin sang ayah akan pulang membawa makanan. Atau jangan-jangan malu untuk pulang. Entahlah.

Kita semua pasti punya dompet. Tentu asumsi dalam hal ini ada uangnya. Bagi yang tidak menyimpan uang di dompet, simpanlah sekarang. Sebab akan tidak nyambung secara bahasa apa yang sedang kita bahas saat ini…he. Uang di dompet yang dialokasikan untuk berbelanja apa saja. Untuk belanja bulanan, pendidikan, hiburan, jalan-jalan, dan sebagainya. Tapi apakah kita punya dompet yang lain? Yang kita pisahkan dari dompet kita yang pokok. Untuk berbelanja yang sama sekali berbeda. Dompet Zakat. Yah. Itulah yang saya maksud. Sekali lagi Dompet Zakat. Maksud istilah ini agar inklusif saja bagi pembaca. :)

Ya. Dompet zakat. Kalau ini jadi gerakan massif di negeri kita. Artinya masing-masing kita yang muslim punya dompet zakat, maka mereka yang fakir, miskin, papa dan orang-orang yang salam kesulitan, sedikit demi sedikit bisa menuntaskan kerisauan-kerisauannya. Memberi ketenteraman di pagi hari karena masih ada makanan di meja makan, masih optimis dengan masa depan karena anaknya berpendidikan, dan masih yakin bahwa usaha keluarganya akan tetap berpenghasilan. Subhanallah ya…:) Menurut syariat Islam,(dalam buku Panduan Pintar Zakat, karya H. Hikmat Kurnia dan H. A Hidayat) hanya sebesar 2,5 % dari harta penghasilan yang kita miliki yang harus dibayarkan sebagai zakat. Bagi yang berprofesi hanya sebesar itu. Bagi petani hanya 10% dari hasil pertaniannya. Itupun jika ladang dialiri sumber air alam. Kalau dengan pengairan, hanya 5% dari hasil pertanian. Tidak seberapa kan? J Bagi pedagang. Sama dengan yang berpenghasilan. Yakni 2,5 persen dari hasil perdagangan. Dan masih ada beragam jenis zakat yang klasik maupun kontemporer yang merupakan hasil ijtihad para ulama. Nanti akan kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya yak./

Nah, bagi kita yang profesional, atau petani, pedagang, dan profesi lainnya, dompet zakat kita adalah dompet bagi mereka. Dompet belanja makan mereka, dompet pendidikan mereka, dan dompet penghasilan dari pemberdayaan uang dompet zakat kita. Dengan demikian, kepatutan bagi kita yang muslim, adalah benar-benar menghitung secara benar kepada dompet siapa isi dompet zakat kita disalurkan. Tapi yang pasti adalah isi dompet zakat kita adalah isi dompet bagi mereka. Dompet dhuafa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi