Menghayati Kerja-Kerja Bersama Kita

Kurang lebih satu tahun masa kita menjalani satu rangkaian amal yang banyak, berat, memilukan, dan membuat energi kita begitu terkuras. Ada yang habis. Ada yang menyisakan begitu banyak kekecewaan. Ada yang memberikan dampak kesedihan. Dan ada yang menyebabkan cacat pada tali persaudaraan. Sehingga kita merasakan bersama bahwa belakangan dan kedepan kita harus memperbaiki begitu banyak ruang cacat diantara kita. Ketidakharmonisan diantara kita tidak lebih disebabkan oleh kecenderungan kita untuk membela diri. Memaksakan ruang bagi egoisme kita untuk bergerak secara liar. Juga akibat aktualisasi diri kita yang terlampau besar tanpa mengimbanginya dengan kesadaran akan kekurangan diri dan pada saat yang sama juga menyadari bahwa ada kekuatan orang lain yang jauh lebih matang. Begitu halnya dengan kesadaran kita akan kebutuhan untuk saling memikul beban yang sama. Memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk mengamalkan apa yang menjadi gagasan bersama kita. Ide-ide besar kita. Dan narasi jama’ah kita. Tidak ada yang patut kita lakukan melainkan mendistribusikan rencana-rencana amal bersama kita kepada kelompok-kelompok amal untuk mengeksekusi semua hal terkait dengannya. Dan ketidakpatutan kita adalah pada kerja-kerja yang mereduksi idealisme orang. Menghambat orang untuk bertumbuh secara cepat. Mencegah orang untuk mempertontonkan amal terbaik dari dirinya kepada Allah SWT dan segenap penduduk bumi. Juga mengesampingkan peran orang per orang pada amalan bersama meskipun terlihat begitu kecil.

Ikhwan wa Akhwat Fillah

Yang menjadi latar kebersamaan kita adalah karena pribadi masing-masing kita tidak pernah ada riwayat atau berita tentang adanya jaminan bagi diri kita bahwa kita kelak akan memasuki syurganya Allah SWT. Juga karena begitu kerdilnya kita dengan segala kebusukan diri kita. Juga karena kapasitas kita untuk beramal dengan lebih banyak, lebih konsisten dan lebih bersemangat ternyata begitu kecil. Dan juga ternyata kita boleh jadi belum memiliki amalan unggulan yang dengannya kita layak mendapatkan Rahmatnya Allah untuk memasuki syurgaNya. Maka, dengan latar itulah kita menyatu. Melebur jadi satu. Memaksakan diri kita untuk menerima orang lain di sekitar kita untuk menjadi bagian dari episode perjalanan amal ikhlas kita. Menuju pada muara yang sama. Mencapai pada tangga yang sama. Dan bercita-cita pada ‘sesuatu’ yang sama. Syurga. Dan memang hanya itulah kepentingan kita. Tidak untuk kepentingan duniawi, terlebih untuk kepentingan merusak barisan diantara kita. Kebersamaan kita memberikan konsekuensi untuk bisa saling memberi. Saling menyadari. Dan saling menumbuhkan kemampuan dalam beramal dan memperkuat ibadah kepada Allah. Semangat memberi sudah seharusnya lebih besar dibandingkan semangat menerima. Konsumsi kita terhadap kebaikan orang lain adalah agenda masing-masing kita untuk ditekan sekecil mungkin. Kebesaran harga diri kita juga merupakan agenda untuk membiasakan agar memberikan kebaikan kepada orang lain di sekitar kita secara kontinyu menjadi kepribadian. Sehingga, kehawatiran segala hal terkait dengan ‘hak duniawi’ kita dalam sebuah jama’ah tidak diberikan secara baik bukan jadi kendala dan persoalan yang begitu penting untuk dituntut pelaksanaannya. Tetapi secara tuntutan, kewajiban bagi para pemimpin diantara kitalah untuk memberikan hak itu. Namun, dalam hal ini juga sekali lagi ada hal yang jauh lebih penting dan mendesak untuk dipikirkan bersama. Yaitu kontribusi kita dari proses penyatuan karya diantara kita untuk diberikan ke sebanyak mungkin orang. Ke seluas mungkin jangkauan jama’ah kita. Dan sebesar mungkin kapasitas kita. Dan InsyaAllah tetap ada kemuliaan meskipun hak-hak kita tidak terpenuhi secara maksimal. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut ;

“Berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya, dan berdebu kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di belakang. Ketika meminta tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.” (HR BUKHARI)

Bukan berarti membenarkan bahwa hak duniawi dan sebagainya tidak perlu diberikan secara baik. Tapi, kesadaran untuk selalu saling member itulah yang kita utamakan dibandingkan tuntutan untuk selalu menerima kebaikan orang. Hingga pada akhirnya kita mengharap dan bermunajat kepada Allah agar kerja-kerja bersama kita mampu memberikan sinar kesadaran bagi kita akan keagungan, kemuliaan, dan kenikmatan dalam amal bersama. Dan jika ditemukan adanya kekeruhan diantara kita, kita berharap Allah tetap memberikan kebaikan kepada kita karena kesediaan kita menerima orang lain untuk bersama menjadi lebih shalih dari hari kemarin dan bercita-cita menjadi lebih shalih esok hari. Sehingga, baik jernih maupun keruh jama’ah kita, Allah tetap memberikan salah satu dari nikmatNya kepada kita. KEBERKAHAN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia (Insan) Sebagai Objek Kaderisasi

Ketuban Pecah Dini Tak Harus Berakhir Operasi Caesar

Konsep Dasar Akuntansi